Rabu, 17 November 2021

Burung Simbah

Selepas sembahyang magrib, ibuk bapak selalu menyempatkan diri untuk mengobrol. Kadang di teras, di ruang tamu atau ketika duduk lesehan di depan televisi. Malam ini ibuk bercerita tentang tetangga kami yang merupakan sesepuh Desa sekaligus guru mengaji ibuk, Mbah Ji. Konon, kakek Mbah Ji adalah ulama pertama di desa kami.

Namun bukan itu yang dibahas ibuk malam ini, melainkan kedatangan dua cucu Mbah Ji yang memang rumahnya cukup jauh, ibuk bilang ada di dekat kaki Gunung Lawu bagian utara. Mbah Ji memiliki banyak cucu, namun yang paling banyak dikenal oleh tetangga sekitar rumah kami adalah Srintil, sebab sikapnya yang kelewat ramah dan banyak tingkah.

Kemarin, Srintil tiba di kediaman Mbah Ji petang hari, bersama kakaknya Rara Anteng. Dipanggil demikian sebab Kakak Srintil memang berlaku lemah lembut dan penurut, hanya pada kebandelan Srintil lah Rara Anteng akan cerewet. Kedatangan Srintil disambut riang oleh kakeknya, rumah Mbah Ji biasanya sepi karena hanya ditinggali berdua dengan anak bungsunya, Mas Rahmat.

Srintil memang banyak tingkah, ketika di dekat Mbah Ji, mulutnya akan sibuk bertanya kesana kemari. Tak habis topik yang dibahas oleh Srintil, barangkali itulah yang membuat rumah Mbah Ji ramai hari ini. Meski hanya diisi oleh 4 orang, Mbah Ji, Srintil, Rara Anteng dan Mas Rahmat, rumah Mbah Ji dibanjiri gelak tawa dari para penghuninya. Namun pertanyaan Srintil kali ini, ternyata mengagetkan semua orang.

“Mbah Ji, bagaimana Srintil bisa bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, padahal Srintil tidak pernah benar benar menyaksikan keberadaan Allah? Srintil kan tidak pernah melihat Allah,”

“Woo bocah gemblung, murtad ya kowe? “ Mas Rahmat geleng-geleng kepala sambil menjawil dagu Srintil, kebiasaannya ketika gemas dengan tingkah Srintil.

“Jangan nanya macem-macem sama Mbah Ji, Srintil. Pertanyaanmu seperti orang yang tidak beriman saja,” tegur Rara Anteng.

Tidak seperti Mas Rahmat dan Rara Anteng yang nampak prihatin mendengar pertanyaan konyol Srintil, Mbah Ji hanya tersenyum maklum, cara Mbah Ji menanggapi pertanyaan inilah barangkali yang membuat Srintil begitu menyukai kakeknya.

“Oh jadi ini sebabnya ya Srintil tidak lagi pernah sembahyang? “.

Srintil sedikit keget mendapati Mbah Ji mengetahui ia tak lagi mengerjakan sholat yang lima waktu, ingin Srintil bertanya darimana Mbah Ji tau rahasia tersebut. Namun ia urung, jawaban mengenai kesaksian terhadap tuhan jauh lebih membuat gadis itu penasaran.

“Ndhuk, beberapa hal memang tidak mampu dilihat oleh mata, sebab kemampuan manusia terbatas. Apalagi Srintil kan hanya makhluk, hanya abdi, hanya hamba. Tugas sebenarnya ya hanya ngikut perintahnya Gusti sing Maha Kuasa tok kan? Hal-hal seperti itu Ndhuk, hanya bisa dilihat pakai batin, batin itu punya mata lo,”.

“Terus bagaimana caranya biar batin Srintil bisa melihat Tuhan, Mbah Ji? “.

“Srintil sudah sembahyang? “.

“Srintil sudah tidak pernah sholat, Mbah Ji,”.

“Nah, syariatnya saja Srintil belum laksanakan. Syarat awalnya itu Ndhuk, ya harus sembahyang lima waktu. Sekarang ndak papa dipaksa dulu, nanti biar Srintil terbiasa,”.

“Setelah itu Mbah Ji? “.

“Sembahyang yang benar dulu Ndhuk, nanti Srintil nemu sendiri jawabannya,”.

Hari itu Srintil harus puas dengan jawabannya Mbah Ji yang seperti itu. Srintil sangat mempercayai apapun yang dikatakan kakeknya, terkadang jika sedang tidak malas, Srintil akan melakukan apapun yang diucapkan Mbah Ji seketika itu juga. 




Hari ini, Srintil kembali berulah. Gadis itu tidak kunjung pulang meski jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Rara Anteng geram dengan kebandelan adiknya, sejak sore tak habis ia mengomel sambil memijat pelipisnya yang berdenyut pusing. Sementara Mas Rahmat sibuk menelpon kesana kemari, menanyakan kepada siapapun yang dirasa mengenal Srintil dan bertanya tentang keberadaan keponakannya, namun nihil.

Srintil baru pulang setengah jam kemudian. Padahal biasanya, sebelum magrib gadis itu sudah rapi dimeja belajar dan asyik berkutat dengan PR PR sekolahnya. 

Tanpa mandi dan membersihkan diri terlebih dahulu, Srintil langsung merebahkan dirinya di sofa panjang ruang tamu. Sama sekali tidak merasa bersalah pada wajah cemas Mbah Ji dan lirikan tajam Rara Anteng. Sementara Mas Rahmat hanya menepuk jidat Srintil pelan karena gemas. 

“Srintil dari warung kopi Mbah Ji, tadi ada Mas gondrong yang bertanya begini : yang benar aku berpikir maka aku ada, atau aku ada maka aku berpikir? Srintil jadi bingung sendiri,”.

“Iya sudah, Srintil makan dulu sana, tadi Mbakmu sudah masak banyak,”.




Esok paginya, Srintil berkeliling rumah, mengabsen satu persatu burung peliharaan Mbah Ji yang jumlahnya ada belasan, Srintil hafal beberapa nama. Namun ia kebingungan karena tambahan personel burung burung baru yang jumlahnya cukup banyak.

Mbah Ji yang sedang asyik membuat kandang baru dari bambu, dengan sabar memperkenalkan satu persatu nama burung peliharaannya yang rata-rata berjenis perkutut, dara dan puter. 

Hanya sedikit yang mampu Srintil hafal namanya, Happy yang bangunnya paling pagi, lalu ada Pelung dan Mbali yang tidurnya sekandang berdua, Welas yang paling merdu suaranya, ada Sekar, Melati, Bunga, Baja Hitam, dan Kalang, sisanya Srintil tidak hafal.

“Kandang barunya buat siapa, Mbah Ji? “.

“Buat Srintil,”.

Srintil mencebik, mengira Srintil yang dimaksud adalah dirinya, kenapa anak manusia seperti dirinya dibuatkan kandang?

“Srintil itu yang paling nakal, sukanya cuma eker eker makanan saja, jadi mengotori halaman depan. Sudah itu jarang sekali mau bersuara, sekalinya mau, suaranya cempreng,” keluh Mbah Ji sambil menata batang bambu.

“Burungnya ada yang dikasih nama Srintil Mbah? Yang mana? “.

Srintil baru tahu jika burung nakal yang kandangnya ada didekat pintu itu bernama Srintil. Tiap Srintil awasi, burung itu asik membuang buang makananya, tercecer dan mengotori halaman. Srintil pernah memarahinya : jangan nakal dan jaga kebersihan, jika tidak ia sendiri yang akan menjualnya ke pasar tanpa sepengetahuan Mbah Ji. Siapa yang menyangka burung nakal itu memiliki nama yang persis sepertinya.

“Kenapa yang tidak bisa diam seperti itu yang diberi nama Srintil, Mbah? Kenapa ndak yang sampingnya saja itu, yang anggun dan tidak banyak gerak,”.

“Kalau yang disebelahnya Srintil itu sudah ada namanya, Rara Anteng,”.

Srintil sungguh kesal, kenapa burung anggun itu tidak diberi nama Srintil saja? Mengapa harus memakai nama Rara Anteng? Ditengah kejengkelannya tersebut, Mas Rahmat terlihat sibuk menuntun motornya keluar halaman. 

“Mamas mau kemana? “.

“Beli makan, Srintil mau ikut? “.

Srintil dengan senang hati langsung duduk diatas motor, padahal sejak bangun pagi tadi gadis itu belum mandi, mencuci muka pun dilakukan sembarangan. 

Di pasar, Srintil asik bertanya ini dan itu, Mas Rahmat yang memang terbiasa dengan pertanyaan Srintil yang macam-macam tidak lagi kesusahan manjawab.

“Mamas, memang warung warung yang saling berjejer itu ndak pada iri? Dagangan mereka kan sama, berarti otomatis mereka saingan kan? Kalau berjajar banyak begitu, yang paling ujung memang ada yang beli? “

“Srintil kan tahu, rezeki itu Allah yang ngatur. Mau jualannya sama persis pun, rezekinya beda, Srintil. Tenang aja, semua makhluk Allah dijamin kok rezekinya,”.

Keterdiaman Srintil membuat Mas Rahmat tersenyum.

“Ngga masuk logika ya? Memang beberapa hal itu kadang ngga masuk akal, Srintil. Contohnya saja Mbah Ji, dengan usia yang sudah termasuk tua begitu, siapa yang sangka Mbah Ji masih bisa hidup tanpa minta bantuan apapun ke anak anaknya? Bahkan Mas juga masih sering dapet uang saku. Padahal Srintil kan tahu Mbah Ji ndak pernah kerja,”.

Srintil melotot setuju, kepalanya mengangguk angguk heboh. Iya juga, Mbah Ji kan ndak punya pekerjaan, bagaimana dapat uangnya? Mbah Ji tidak mungkin juga kan punya tuyul?

“Mbah Ji itu udah ndak kerja tapi masih aja ngurus ngurus burung, mana tambah banyak lagi burungnya. Menghabiskan uang saja,” Srintil mendumel.

“Loh? Kata siapa? Justru burung-burung itu, Srintil, yang ngasih makan ke Mbah Ji sama Mas,”.

“Lah kok begitu? “.

“Kan tadi Mas bilang, setiap makhluk Allah itu rezekinya sudah dijamin, termasuk burung-burung peliharaan Mbah Ji. Jadi ngga mungkin Allah mau memutus rezekinya Mbah Ji, karena Mbah Ji perantara Allah ngasih rezeki ke burung burungnya. Lewat manapun itu, rezekinya Mbah Ji selalu aja akan dateng,”.

Ah iya juga, besok jika sudah besar, Srintil tidak perlu ah cari kerja. Pelihara burung saja!

Minggu, 07 November 2021

Kolam yang Dingin

Bilqis (2 tahun) 


Kamar adalah penjara dingin yang seringkali memberi rengkuhan suasana paling nyaman. Acap kali alih-alih bertualang pada keindahan pesona ciptaan sang kuasa, melamun dalam kamar terasa lebih asyik dan tentunya tak merepotkan. Tapi hari itu, dengan terpaksa saya tinggalkan keramahan si penjara dingin, beranjak untuk duduk selincak dengan bapak-bapak yang begitu mesra menyesap gelas kopinya.

Ah tapi kesempatan baik tidak datang kepada saya hari itu, sebab syarat yang diajukan olehnya adalah membuat menangis pengunjung warung kopi yang dengan saya beliau tidak kenal, dan saya tidak pula mengenal beliau. Karena kebetulan yang sedang jagongan kala itu adalah tetangga-tetangga saya, saya urung mampir. Nanti saja ah kemari lagi, objek sasaran kali ini belum memenuhi syarat.

Setelah Sabtu pagi yang muram karena kegagalan, siangnya keponakan saya menelpon, minta jemput katanya sudah waktunya pulang sekolah. Sebagai sopir rumah tanpa gaji, saya tak kuasa menolak, akhirnya saya berangkat juga. Tapi memang sialan! Sepanjang jalan yang terlewati, 3 warung sudah saya dapati sedang terisi oleh bapak-bapak yang saya mengenal beliau, dan beliau-beliau mengenal saya pula, sebagai anak Ayah.

Siang itu, tiba-tiba Ayah salah seorang anak yang saya “bantu” belajarnya menelpon,

“Kesini kan, Mbak? Bunga dan Fajar kan besok lombanya, jadi mohon dibantu ya,”.

“Baik Bapak, nanti saya kesana,” 

Ahh manis kali mulut ini menjawab, padahal ada perasaan nggerundel pula dalam hati. Saya kira Sabtu dan Minggu adalah waktunya saya istirahat menugas, tugas kuliah dan tugas yang lain. Nah tapi, bisa-bisanya Sabtu dan Minggu ini saya harus menemani adik-adik kecil itu belajar. Tuhan, kalau saya sambat saya capek, pasti Engkau bosan ya? Tapi kalau tidak, saya beneran capek, Tuhan.

Dan kurang ajarnya lagi, hujan lebat turun sore itu ketika saya dalam perjalanan ke rumah adik-adik. Lebat sekali, rintiknya sampai mewarnai aspal hitam menjadi putih. Sebab saya tak bawa jas hujan, saya berteduh dirumah yang hari itu tertutup pintunya. Saya tersenyum ketika mendapati warung kopi didepan tempat saya berteduh yang penuh oleh bapak-bapak petani.

“Wah asyik, Tuhan membalas doaku sebab bapak-bapak incaranku tengah berkumpul diwarung itu,” batin saya bersemangat.

Tapi sebenarnya Tuhan tak membalas doa saya sebab saya memang tak pernah berdoa, haha. Saya ingat meninggalkan dompet diatas meja ketika berangkat tadi. Wah bodoh sekali, untung saja saya tak jadi mampir ke warung depan itu, bisa-bisa saya mempermalukan diri sendiri dengan tidak membawa uang.

Malamnya, saya tenggelam dalam mesranya diskusi bersama teman seperjuangan dan beberapa senior. Dalam hati, seringkali saya kagumi bagaimana cara Mas dan Mbak saya tersebut menyampaikan ilmu kepada adik-adiknya. Karena itu, saya mencoba peruntungan dengan bertanya “Bagaimana sih supaya bisa seperti itu cara ngajarnya?”. Tapi ya seperti biasa, bukan saya namanya jika tak membikin kesalahan. Cara saya menyampaikan pertanyaan terdengar lain dengan maksud saya, bahkan terkesan menjelek jelekkan? Ahh yasudahlah, akan percuma jika saya menjelaskan. Teman dekat saya pernah berkata “Kadang memang perkataanmu semenyebalkan itu Nggi, tapi aku pribadi tau, kamu bukan orang jahat,”

Karena hal tersebut, semalaman saya susah tidur, enggan menyentuh ponsel pula. Akhirnya saya hanya melamun, bersenda gurau dengan malam yang selalu sok kenal dan sok dekat pada diri ini, saya membencimu malam. Gara-gara si Malam, pagi saya jadi kesiangan. Terburu buru saya bangun dan menyelesaikan aktivitas pagi. Saya ingat pukul 10 pagi ini saya seharusnya menemani kedua murid saya lomba.

Saya menyetujui untuk datang sebelum pukul sepuluh, tapi karena terlalu lama mandi, 10.02 saya baru tiba dirumah mereka, padahal lomba dimulai pukul 10.00 tepat. Kedua murid saya dengan panik langsung membrondong saya dengan pertanyaan “Bagaimana ini Mbak lombanya?”. Haha, santai saja, Dik, jika panik kalian justru akan membuat kesalahan, kasihan yang sudah selama seminggu ini kena gemblengan.

Setelah mengotak atik ponsel mereka, keduanya lalu mulai asyik tenggelam dalam susahnya soal olimpiade. Tak apa, Dik, percaya padaku, usaha tak akan menghianati hasil. Lalu selesai mengumpulkan jawaban, saya ajak mereka membeli es krim. Sambil berharap ada yang bisa saya wawancarai. Nyatanya nihil, toko es krim sedang sepi. Saya jadi ingat ketika hendak mengajak ngobrol tukang siomay dan beliau tengah asyik berkabar dengan sang istri lewat pesan singkat. Sialan, mengapa rasanya saya menjadi selingkuhan tukang siomay yang sama sekali tak digubris!

Tapi siapa yang bisa mengira perihal jodoh? Setelah mengantarkan adik-adik pulang ke rumah dengan bungkusan es krimnya, saya langsung pulang. Adik perempuan saya tersenyum dan menyapa ceria, seperti biasa. Haha, taukah kamu, Dik? Senyum ceriamu itu adalah obat pelepas penat dan sakit hati? Iya, seistimewa itu, Dik. Karena itu jangan pernah berhenti tersenyum.

Entah mengapa tiba-tiba saya terpikir untuk mengajak adik saya pergi berenang. Dengan persiapan mendadak dan omelan Ibuk untuk jangan lupa mencuci piring sebelum berangkat, akhirnya disinilah kami sekarang, asyik tenggelam dalam dinginnya air kolam.

Seperti yang sudah saya katakan, jodoh tak kan kemana, nyatanya saya bisa mengobrol tidak di warung kopi, tapi dipinggir kolam renang sambil mengamati senyum anak-anak yang girang diguyur dinginnya air kolam. Saya yang kala itu berenang dengan adik saya yang memang umurnya masih dua tahun, mengundang beberapa anak kecil lain untuk usil menjawil pipi gembulnya, mereka gemas katanya. Tak lupa bertanya “Halo namamu siapa?” dengan nada akrab. “Bilqis namanya,” jawab saya.

Saya duduk dipinggir kolam ketika mendapati adik saya kedinginan, disamping saya remaja yang saya taksir masih bocah SMP sedang tersenyum memandang temannya. Ketika melirik adikku, seperti yang dilakukan anak-anak lain sebelumnya, dia menyapa dan bertanya nama si gembul. “Namanya Bilqis, kalau namamu siapa?” saya balik bertanya.

“Novi, Mbak”. Minggu sore itu, saya berjodoh untuk mengobrol dengan Novi. Dia dari Desa Bendo, letaknya lumayan jauh lah jika dari tempat tinggal saya. Ia ditemani temannya yang bernama Risma. Mudah saja mengenali Risma, karena saya rasa Risma adalah anak yang memiliki badan paling berisi dibanding anak-anak lain dikolam ini.

“Aku kelas 3 SMP Mbak, SMP di Pangkur,” oh anak yang ramah, meski saya membeci anak SMP secara umum (karena peringai mereka yang sedang berada di fase sok jago dan sok cantik), saya nyaman nyaman saja mengobrol dengan Novi, karena anaknya kalem pula.

“Novi punya adik kah?”

“Punya Mbak,”

“Umur berapa?”

“Ehh, nggak tau Mbak,” jawabnya sambil cengengesan, tapi entah kenapa senyum itu justru terlihat getir.

Melihat ekspresi bingungku, Novi tersenyum. “Ndak tinggal serumah Mbak, jadi ndak tau,”

Ketika saya tanya mengapa bisa begitu, Novi malah bercerita bahwa orang tuanya telah bercerai. Ahh, saya sangat terkejut  dan tidak siap tentang ini, bahkan saya menjadi gagu saking bingungnya. Novi bilang, ia tinggal dengan Ayah dan neneknya. Ibunya tak pernah datang menjenguk, sebab sedang bekerja diluar negeri, dan adiknya bersama neneknya yang lain.

Ahh, kasihan sekali kamu Novi, mungkin kamu tidak seberuntung temanmu yang masih bisa merasakan bagaimana rasanya dimasakkan, dicari dan bahkan diomeli oleh ibunya. Tapi percaya ya Novi, akan ada kebaikan entah apapun itu buatmu. Tenang saja, itu sudah menjadi janji Tuhan, bahwa beserta kesulitan itu ada kemudahan. Tapi tentu saya terlalu pengecut untuk mengatakannya, saya hanya berani menatapnya sambil tersenyum. Berharap dari situ Novi akan tau, Novi tidak sendiri, karena saya juga tahu bagaimana rasa sakit yang itu.


Burung Simbah

Selepas sembahyang magrib, ibuk bapak selalu menyempatkan diri untuk mengobrol. Kadang di teras, di ruang tamu atau ketika duduk lesehan di ...