Minggu, 07 November 2021

Kolam yang Dingin

Bilqis (2 tahun) 


Kamar adalah penjara dingin yang seringkali memberi rengkuhan suasana paling nyaman. Acap kali alih-alih bertualang pada keindahan pesona ciptaan sang kuasa, melamun dalam kamar terasa lebih asyik dan tentunya tak merepotkan. Tapi hari itu, dengan terpaksa saya tinggalkan keramahan si penjara dingin, beranjak untuk duduk selincak dengan bapak-bapak yang begitu mesra menyesap gelas kopinya.

Ah tapi kesempatan baik tidak datang kepada saya hari itu, sebab syarat yang diajukan olehnya adalah membuat menangis pengunjung warung kopi yang dengan saya beliau tidak kenal, dan saya tidak pula mengenal beliau. Karena kebetulan yang sedang jagongan kala itu adalah tetangga-tetangga saya, saya urung mampir. Nanti saja ah kemari lagi, objek sasaran kali ini belum memenuhi syarat.

Setelah Sabtu pagi yang muram karena kegagalan, siangnya keponakan saya menelpon, minta jemput katanya sudah waktunya pulang sekolah. Sebagai sopir rumah tanpa gaji, saya tak kuasa menolak, akhirnya saya berangkat juga. Tapi memang sialan! Sepanjang jalan yang terlewati, 3 warung sudah saya dapati sedang terisi oleh bapak-bapak yang saya mengenal beliau, dan beliau-beliau mengenal saya pula, sebagai anak Ayah.

Siang itu, tiba-tiba Ayah salah seorang anak yang saya “bantu” belajarnya menelpon,

“Kesini kan, Mbak? Bunga dan Fajar kan besok lombanya, jadi mohon dibantu ya,”.

“Baik Bapak, nanti saya kesana,” 

Ahh manis kali mulut ini menjawab, padahal ada perasaan nggerundel pula dalam hati. Saya kira Sabtu dan Minggu adalah waktunya saya istirahat menugas, tugas kuliah dan tugas yang lain. Nah tapi, bisa-bisanya Sabtu dan Minggu ini saya harus menemani adik-adik kecil itu belajar. Tuhan, kalau saya sambat saya capek, pasti Engkau bosan ya? Tapi kalau tidak, saya beneran capek, Tuhan.

Dan kurang ajarnya lagi, hujan lebat turun sore itu ketika saya dalam perjalanan ke rumah adik-adik. Lebat sekali, rintiknya sampai mewarnai aspal hitam menjadi putih. Sebab saya tak bawa jas hujan, saya berteduh dirumah yang hari itu tertutup pintunya. Saya tersenyum ketika mendapati warung kopi didepan tempat saya berteduh yang penuh oleh bapak-bapak petani.

“Wah asyik, Tuhan membalas doaku sebab bapak-bapak incaranku tengah berkumpul diwarung itu,” batin saya bersemangat.

Tapi sebenarnya Tuhan tak membalas doa saya sebab saya memang tak pernah berdoa, haha. Saya ingat meninggalkan dompet diatas meja ketika berangkat tadi. Wah bodoh sekali, untung saja saya tak jadi mampir ke warung depan itu, bisa-bisa saya mempermalukan diri sendiri dengan tidak membawa uang.

Malamnya, saya tenggelam dalam mesranya diskusi bersama teman seperjuangan dan beberapa senior. Dalam hati, seringkali saya kagumi bagaimana cara Mas dan Mbak saya tersebut menyampaikan ilmu kepada adik-adiknya. Karena itu, saya mencoba peruntungan dengan bertanya “Bagaimana sih supaya bisa seperti itu cara ngajarnya?”. Tapi ya seperti biasa, bukan saya namanya jika tak membikin kesalahan. Cara saya menyampaikan pertanyaan terdengar lain dengan maksud saya, bahkan terkesan menjelek jelekkan? Ahh yasudahlah, akan percuma jika saya menjelaskan. Teman dekat saya pernah berkata “Kadang memang perkataanmu semenyebalkan itu Nggi, tapi aku pribadi tau, kamu bukan orang jahat,”

Karena hal tersebut, semalaman saya susah tidur, enggan menyentuh ponsel pula. Akhirnya saya hanya melamun, bersenda gurau dengan malam yang selalu sok kenal dan sok dekat pada diri ini, saya membencimu malam. Gara-gara si Malam, pagi saya jadi kesiangan. Terburu buru saya bangun dan menyelesaikan aktivitas pagi. Saya ingat pukul 10 pagi ini saya seharusnya menemani kedua murid saya lomba.

Saya menyetujui untuk datang sebelum pukul sepuluh, tapi karena terlalu lama mandi, 10.02 saya baru tiba dirumah mereka, padahal lomba dimulai pukul 10.00 tepat. Kedua murid saya dengan panik langsung membrondong saya dengan pertanyaan “Bagaimana ini Mbak lombanya?”. Haha, santai saja, Dik, jika panik kalian justru akan membuat kesalahan, kasihan yang sudah selama seminggu ini kena gemblengan.

Setelah mengotak atik ponsel mereka, keduanya lalu mulai asyik tenggelam dalam susahnya soal olimpiade. Tak apa, Dik, percaya padaku, usaha tak akan menghianati hasil. Lalu selesai mengumpulkan jawaban, saya ajak mereka membeli es krim. Sambil berharap ada yang bisa saya wawancarai. Nyatanya nihil, toko es krim sedang sepi. Saya jadi ingat ketika hendak mengajak ngobrol tukang siomay dan beliau tengah asyik berkabar dengan sang istri lewat pesan singkat. Sialan, mengapa rasanya saya menjadi selingkuhan tukang siomay yang sama sekali tak digubris!

Tapi siapa yang bisa mengira perihal jodoh? Setelah mengantarkan adik-adik pulang ke rumah dengan bungkusan es krimnya, saya langsung pulang. Adik perempuan saya tersenyum dan menyapa ceria, seperti biasa. Haha, taukah kamu, Dik? Senyum ceriamu itu adalah obat pelepas penat dan sakit hati? Iya, seistimewa itu, Dik. Karena itu jangan pernah berhenti tersenyum.

Entah mengapa tiba-tiba saya terpikir untuk mengajak adik saya pergi berenang. Dengan persiapan mendadak dan omelan Ibuk untuk jangan lupa mencuci piring sebelum berangkat, akhirnya disinilah kami sekarang, asyik tenggelam dalam dinginnya air kolam.

Seperti yang sudah saya katakan, jodoh tak kan kemana, nyatanya saya bisa mengobrol tidak di warung kopi, tapi dipinggir kolam renang sambil mengamati senyum anak-anak yang girang diguyur dinginnya air kolam. Saya yang kala itu berenang dengan adik saya yang memang umurnya masih dua tahun, mengundang beberapa anak kecil lain untuk usil menjawil pipi gembulnya, mereka gemas katanya. Tak lupa bertanya “Halo namamu siapa?” dengan nada akrab. “Bilqis namanya,” jawab saya.

Saya duduk dipinggir kolam ketika mendapati adik saya kedinginan, disamping saya remaja yang saya taksir masih bocah SMP sedang tersenyum memandang temannya. Ketika melirik adikku, seperti yang dilakukan anak-anak lain sebelumnya, dia menyapa dan bertanya nama si gembul. “Namanya Bilqis, kalau namamu siapa?” saya balik bertanya.

“Novi, Mbak”. Minggu sore itu, saya berjodoh untuk mengobrol dengan Novi. Dia dari Desa Bendo, letaknya lumayan jauh lah jika dari tempat tinggal saya. Ia ditemani temannya yang bernama Risma. Mudah saja mengenali Risma, karena saya rasa Risma adalah anak yang memiliki badan paling berisi dibanding anak-anak lain dikolam ini.

“Aku kelas 3 SMP Mbak, SMP di Pangkur,” oh anak yang ramah, meski saya membeci anak SMP secara umum (karena peringai mereka yang sedang berada di fase sok jago dan sok cantik), saya nyaman nyaman saja mengobrol dengan Novi, karena anaknya kalem pula.

“Novi punya adik kah?”

“Punya Mbak,”

“Umur berapa?”

“Ehh, nggak tau Mbak,” jawabnya sambil cengengesan, tapi entah kenapa senyum itu justru terlihat getir.

Melihat ekspresi bingungku, Novi tersenyum. “Ndak tinggal serumah Mbak, jadi ndak tau,”

Ketika saya tanya mengapa bisa begitu, Novi malah bercerita bahwa orang tuanya telah bercerai. Ahh, saya sangat terkejut  dan tidak siap tentang ini, bahkan saya menjadi gagu saking bingungnya. Novi bilang, ia tinggal dengan Ayah dan neneknya. Ibunya tak pernah datang menjenguk, sebab sedang bekerja diluar negeri, dan adiknya bersama neneknya yang lain.

Ahh, kasihan sekali kamu Novi, mungkin kamu tidak seberuntung temanmu yang masih bisa merasakan bagaimana rasanya dimasakkan, dicari dan bahkan diomeli oleh ibunya. Tapi percaya ya Novi, akan ada kebaikan entah apapun itu buatmu. Tenang saja, itu sudah menjadi janji Tuhan, bahwa beserta kesulitan itu ada kemudahan. Tapi tentu saya terlalu pengecut untuk mengatakannya, saya hanya berani menatapnya sambil tersenyum. Berharap dari situ Novi akan tau, Novi tidak sendiri, karena saya juga tahu bagaimana rasa sakit yang itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Burung Simbah

Selepas sembahyang magrib, ibuk bapak selalu menyempatkan diri untuk mengobrol. Kadang di teras, di ruang tamu atau ketika duduk lesehan di ...