Kamis, 27 Mei 2021

Sampai Menangis!


“Harus mulai dari mana Mas?”

Entah datang dari mana tapi memang si periang yang selalu optimis akan apapun yang datang dari masa depan tersebut memang sudah hilang. Tinggal si tukang ngeluh yang hobi menangis, dia takut pada malam.

Jika aksara itu bernada, pasti si pembaca menangkap nada keputus asaan disana.

Obrolan ringan tersebut bermula dari si malas yang pada episode kali ini merengek pada kakak laki-lakinya. Bertanya dengan sedikit memaksa.

"Bisakah penyesalan itu ditiadakan? Tolong dihilangkan," Begitu tuntutan yang dilayangkannya kali ini. 

Laki-laki itu paham, tentu saja ia harus tahu tentang apapun yang terjadi pada adiknya, termasuk segala masa lalu yang begitu ditakuti si adik. Adiknya memang penakut, tapi masa lalu itu lebih ia benci dari pada malam.

“Nasi sudah jadi bubur, ngga akan bisa dirubah, Mas,” kata si malas.

“Gunanya apa kamu baca Bismillah?”

Catatan : Ehm, terlalu sulit jika harus memakai sudut pandang ketiga. Jadi setelah membaca kalimat ini, anggap saja si malas adalah saya. 

Batin saya menggerutu, memang apa pengaruhnya? Tidak ada. Menurut saya, dengan atau tanpa Bismillah rasanya sama saja. 

“Saya sudah tidak pernah membacanya lagi,”

Dianggap kafir pun boleh, memang begitu adanya. Sudah sejak lama kata sakral tersebut tidak lagi bermakna bagi saya.

“Lepas saja kerudungmu,” pesan yang dikirimnya macam bernada cemoohan.

Anj- 

Ah tak jadi, jangan lagi menambah dosa dengan memanggil si gugug.

“Saya masih waras Mas, jika tidak bisa mendoakan yang baik untuk orang tua, setidaknya saya tidak menyeret ayah saya ke neraka dengan lepas kerudung,”

Saya harap dia tahu saya sedang kesal.

“Tugasmu malam ini, baca surah Al-Ashr, sampai menangis,”

Gila ya? Malas sekali. Mana bisa baca surah sampai nangis? Al-Ashr? Memang apa isinya? Sejak kelas 3 SD saya sudah hafal artinya diluar kepala.

“Nggeh Mas,” (artinya : Iya)

Meski tidak menyukai gagasanya kali ini, tetap saja harus dilakukan kan? Kalau boleh jujur saya menghormatinya sebagai kakak yang baik. Karena itu menurut dan mengalah adalah solusi terbaik. 

Keengganan itu saya lampiaskan dengan mengirim pesan ke salah seorang teman.

“Hei, mau kuberi tahu sesuatu?”

“Apa?”

Sikap antusiasnya itu sedikit menghibur hati saya.

Saya beberkan percakapan saya tadi, dengan ending yang menggebu gebu memberitakan bahwa kini saya sedang dapat tugas. Tapi dengan sama sekali tidak menyinggung masa lalu kelam yang pada dasarnya menjadi pokok permasalahan bagaimana tugas ini dapat terbentuk. Malulah, sudah cukup, jangan ada lagi yang tahu. Menjijikkan. 

“Kamu tahu mata kanan saya sedang bintitan kan? Bagaimana saya harus menangis? Akan seperti apa bentuknya bila bangun nanti?”

Malam itu, dengan mata kanan yang cenut cenut, saya coba baca. Tengah malam dan nyawa saya tinggal separo dibawa kantuk.

Saya ambil Quran kecil berikut terjemahannya. Baru sebulanan lah saya beli, setelah kena tipu shop** akibat kurang berhati-hati. Saya buka kitab yang konon merupakan yang paling sakti tersebut.

Baca sekali, tidak menangis.

Dua kali, tidak menangis. Harus sampai menangis ya?

Tiga kali, tidak menangis. Ada apa sih dengan surat ini? saya hafal artinya kok. Dan biasa saja.

Kesekian kali,

1. Demi masa.

2. Sungguh manusia berada dalam kerugian.

Cukup, saya rasa pipi saya basah. Ahh, ini ternyata.

Esoknya, ketika kakek saya yang tinggal di Jombang menelpon, saya bertanya dengan nada memaksa.

“Mbah, kalau saya serius kuliahnya, saya bakal sukses kan?”

Kamu akan membenci saya jika mendengar pertanyaan menuntut tersebut.

“Iya,”

Ahh, simple sekali jawabnya. Tapi senyum itu penenang yang sesungguhnya.

Tapi saya masih merasa kurang, harus ada kepastian.

“Beneran kan Mbah? Kalau saya serius belajarnya, saya nanti kaya kan?”

“Iya, Ndhuk iya,”

“Kalau saya nanti kaya, saya beliin deh sapi buat Mbah, biar tambah banyak sapinya,”

Mbah saya terpingkal-pingkal.

“Itu bukan sayang Mbah namanya. Keliatannya saja bagus, aslinya kamu mau nyiksa Mbah biar lebih banyak lagi kan nyari rumputnya? Encok lah Mbah,”

“Salah siapa, tiap disuruh main kemari, Mbah bilang repot terus mau nyari rumput, bukan saya yang salah kan? Orang Mbah aja sayangnya keterlaluan sama si sapi, lebih sayang sapi daripada ke cucunya. Saya beliin sapi biar kesayangannya nambah lagi”

Kurang ajar? Ahh, saya sudah kebal dibilang tidak punya sopan santun.

Saya tidak rugi!

Siapa bilang saya rugi?

Nggak! Mbah saya bilang saya akan kaya kok nanti.

Waktu yang sudah saya habiskan selama ini, apa apa saja yang sudah saya tekuni, kenapa masih bisa disebut “dalam kerugian”?

Pukul 3, pesan itu terkirim ke ponsel saya. Tagihan tugas.

“Gimana?” 

Anda berhasil Mas, Meski belasan tahun hafal artinya, baru karena tugas anda yang ini ayat tersebut punya makna bagi saya.

“Sudah, Mas,”

“Sekarang Al-Ikhlas”

Astaga, apa lagi? Kenapa dengan Al-Ikhlas? Sejak di taman kanak-kanak bahkan saya sudah lancar bacanya. Iya iya saya tahu sedang sombong. Tapi memang begitu adanya, hati saya kotor.

Tak macam kemarin, tugas ini saya kerjakan selepas petang. 

Saya masih sibuk dengan tugas prodi yang seakan beranak pinak saat tiba-tiba nenek saya datang membentak. Ahh tidak juga, sejak sebelum saya lahir ke dunia, nada suara nenek saya memang begitu adanya, keras dan tinggi. 

“Kamu ini, mau kuliah jauh dari rumah tapi sholatnya makin ngga dijaga,”

Mbak saya yang kebetulan dengar karena sedang mencari mukena di kamar sholat nyeletuk juga akhirnya.

“Anak itu emang ngga pernah sholat Mak, liat aja, orang sekampung sibuk siap-siap sholat gerhana dia mandi aja belum,”

Cih, cerewet (suara batinku mendzolimi Mbak).

Aku kan ngga tau niatnya, ngga tau tata caranya, ngga tau juga apa yang spesial dari gerhana sampek datengnya aja disholatin.

Orang rumah pada ke masjid, saya buka lagi si mungil bersampul coklat itu. Tak pernah sholat tapi baca Alquran? 

Ya memang kenapa? Banyak kok mualaf yang masuk agama Allah karena mengkaji firmannya. Ngga salah dong, sebelum saya dekati dan ketemuan dengan kode SMS 24434, ada baiknya saya kenalan dulu lewat buku catatan Nya.

Saya yang suntuk seharian, ah tidak seharian sih, setahunan. Merasa penuh beban dan ketidakpastian. Saya yang selama ini merugi, ahh, semua menumpuk sebab kejujuran Emak dan Mbak. Beban itu datang lagi kan, menghimpit dan sesak. Kalau sudah begini mau gimana? Saya Cuma pengen ketenangan. Masalah kuliah, masalah rumah, masalah teman, masalah keuangan, segala yang oleh otak saya diberi tanda cap “masalah” itu satu persatu datang, saking banyaknya, mereka berdesakan, dan akhirnya saya terhimpit.

Tugas! Kurang ajar memang, sedang sedih begini bagaimana bisa tagihan tugas begitu saya prioritaskan? 

Saya lalu baca, surah Al-Ikhlas.

1. Katakanlah (Muhammad) ‘Dialah Allah yang Maha Esa’

Bagaimana, kenapa? Kenapa sepertinya ayat pertama surah ini menjawab kebingungan saya. Seakan dipanggil “Ayo sini padaKu, Aku hanya satu, dan hanya Aku. Kamu milikku, dan aku juga milikmu,"

Kenapa hanya, kenapa harus hanya padamu Ya Allah?

Batin saya selalu bertanya tanya.

2. Allah tempat meminta segala sesuatu.

Ahh, saya punya tempat pulang ternyata.

Tangis yang ini makin parah. Padahal saya baru baca sekali, dan itupun langsung berhenti di ayat kedua. 

Tentu saya tak bisa mendeskripsikan bagaimana euphoria yang menyatu disekitar saya.

Bahasa terlalu miskin untuk menceritakan rasa. Karena itu jangan paksa lagi saya untuk mendongeng. Tidak bisa, nikmat itu hanya pada saya yang merasakannya. Untuk membaginya, ahh saya tak punya daya.

Karena itu, dipenghujung akhir catatan ini saya katakan, ada lagi tugas baru.

“Al-Bayyinah” begitu isi pesannya.

Ahh, pukulan telak pada baris kelima. Tersedu sedu sehabis Ashar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Burung Simbah

Selepas sembahyang magrib, ibuk bapak selalu menyempatkan diri untuk mengobrol. Kadang di teras, di ruang tamu atau ketika duduk lesehan di ...