Andai saya jadi Margio, saya pun tidak akan tahu harus
seperti apa saya mengambil sikap.
Saya kira, Margio gila. Semua orang akan berpikiran yang sama
jika tidak tuntas membaca buku dahsyat ini, Lelaki Harimau, Karya Eka Kurniawan.
Saya rasa, gara-gara Lelaki Harimau ini, saya akan dengan senang hati membaca
buku karya Eka Kurniawan yang lain.
Novel dengan alur maju mundur ini sebenarnya bukan
menceritakan sesuatu yang muluk-muluk, hanya menceritakan kehidupan para
penghuni rumah 131 yang sungguh sederhana. Namun cara Eka mengemasnya, itulah
yang luar biasa.
Eka Kurniawan nyatanya sangat handal memadukan segala hal
yang memang tak masuk akal namun dapat diterima logika sebab mengangkat
permasalahan sosial yang sepertinya telah menjadi momok menyesakkan bagi
masyarakat.
Ambil saja sebagai contoh : perselingkuhan Nuraeini dengan
Anwar Sadat, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh Komar bin
Syueb pada istrinya, hingga penderitaan batin yang dialami Margio karena
pertengkaran yang selalu mewarnai kehidupan rumah tangga orang tuanya, saya
rasa Margio ini bisa digolongkan sebagai anak yang mengalami Broken Home.
Margio hanyalah bocah biasa, sederhana dan tak banyak tingkah.
Sayang, bocah tak bersalah ini dibesarkan ditengah keluarga yang kurang harmonis
bahkan cenderung toxic bagi anak sepenurut Margio.
Anehnya, saya pun cukup bingung ingin menyalahkan siapa. Di
awal, saya begitu ketar ketir dengan kegilaan yang dilakukan Margio, menggigit
leher manusia lain hingga putus urat bahkan koyak dagingnya bukanlah hal
yang sepatutnya dilakukan manusia normal. Bahkan psikopat pun butuh sekedar
benda tajam seperti golok atau pisau untuk membunuh targetnya. Tetapi Margio? Hanya cukup
dengan deretan giginya saja mampu membuat Anwar Sadat tumbang meregang nyawa.
Namun, jika ditilik lagi dari segala masa yang sudah dilewati
Margio, mungkin wajar bagi Margio hilang kewarasan. Margio, hanya anak manis yang menginginkan senyum riang
diwajah ibunya. Sayangnya, bukan binar kebahagiaan yang didapat tetapi justru
tubuh sang ibu harus sering remuk dan penuh memar akibat hantaman ayahnya,
Komar bin Syueb.
Ya sudah, berarti salahkan saja Komar bin Syueb!
Eits, tidak semudah itu. Mungkin saya membenci segala tingkah
kasar Komar yang memang ringan tangan memukul istri dan anaknya, namun diwaktu
yang bersamaan, akan timbul rasa kasihan ketika menyadari Komar hanyalah
laki-laki biasa yang menginginkan sambutan hangat sewaktu pulang kerja sebagai
bayaran pelepas penat dari istrinya. Namun yang didapatnya setelah bertahun-tahun menjalani biduk rumah
tangga dengan Nuraeni, hanyalah wajah judes dan omongan pedas sang istri.
Oh, berarti salah Nuraeni, dia istri yang tidak berbakti!
Begini saja, betahkah perempuan hidup dengan laki-laki yang
tak dicintainya? Menderita dalam kemiskinan dan hidup seadanya? Bahkan cincin
kawin pun terpaksa dijual demi memenuhi kebutuhan. Nuraeni, hanyalah perempuan
lugu yang baru menemukan cintanya di usia 30 tahun, sayangnya cinta itu bukan
untuk suami sahnya, melainkan untuk Anwar Sadat, laki-laki hidung belang yang
punya hobby mencicipi perempuan. Kelembutan Anwar Sadat dalam melayani
perempuan tak didapat Nuraeni dari suami kasarnya, mungkin sebab itulah Nuraeni
sudi berpaling.
Menengok masa lalu, Nuraeni awalnya tidak benar-benar
membenci suaminya, Komar bin Syueb. Ia hanyalah gadis lugu yang berharap
dikirimi surat cinta dari kekasihnya yang kerja jauh ke kota. Sungguh sayang,
penantian Nuraeni tak dibalas dengan apik oleh Komar, setelah menunggu kiriman
surat selama setahun, Nuraeni mulai jengah, rasa suka pada Komar pun hilang
menguap. Dan gadis itu tak tega pada orang tua dan mertuanya untuk menolak
dikawinkan dengan Komar. Sejak itu, neraka rumah tangganya dimulai.
Salah Komar berarti sedari awal!
Sayangnya, perlu berpikir dua kali untuk lagi-lagi
menyalahkan Komar. Apa hanya karena tidak mengirim surat disebabkan kebingungan
hendak apa ditulis harus berbuntut panjang dimasa depan dengan hamilnya si
istri akibat benih orang lain? Haruskah Komar berlapang dada menerima bayi yang
dilahirkan sang istri dari hasil perselingkuhannya dengan pria lain?
Terlepas segala drama yang diciptakan oleh orang tuanya, rasa
iba mungkin akan lebih tertujukan untuk Margio. Racun-racun pertengkaran orang
tua, tingkah kasar dan suka main tangan Komar pada Nuraeni, perselingkuhan
Nuraeni, semua itu berujung pada segala penderitaan yang menikam dada Margio.
Dendam kesumat yang dipendamnya selama bertahun-tahunlah yang saya rasa membuat
Margio hilang kewarasan.
“Ada Harimau didalam tubuhku” saya rasa bukan omong kosong
belaka. Harimau itu benar benar ada. Hidup ganas didalam diri Margio dan
terlahir dari segala luka yang ditorehkan oleh problema yang memberinya
penderitaan sejak masa kanak-kanaknya.
Dan Harimau putih itu, keluar, menyerang sebagai bentuk
keputusasaan Margio ketika satu satunya sumber keriangan yang menjadi alasan
senyum diwajah sang Ibu, menolak untuk memberi kebahagiaan. Hm, anak malang itu
hanya terlampau mencintai sang Ibu, hingga hilang rasa waras.