Resensi Buku Saman
Judul : Saman
Penulis : Ayu
Utami
Penerbit :
Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : 2013
Ayu Utami memiliki nama asli Justina
Ayu Utami yang merupakan seorang aktivis jurnalis dan sastrawan berkebangsaan
Indonesia. Ayu dikenal sebagai novelis sejak novelnya Saman memenangi
sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 1998. Ia dikenal sebagai
novelis pendobrak kemapanan khususnya masalah seks dan agama. Beberapa novel
karyanya selain Saman yaitu Larung (2001), Bilangan Fu
(2008), dan Novel Manjali Dan Cakrabirawa (2010), ia juga menulis
biografi yaitu Cerita Cinta Enrico (2012) dan Soegija : 100%
Indonesia (2012), Juga menulis esai
berjudul Si Parasit Lajang (2003) dan masih ada lagi yang lain. Ayu
Utami menyabet banyak penghargaan diantaranya adalah roman terbaik Dewan
Kesenian Jakarta 1998 (untuk Saman), Prince Claus Award 2000, dan Khatulistiwa
Literary Awards, kategori prosa pada tahun 2008 untuk novelnya Bilangan Fu.
Saman merupakan
novel bergenre fiksi namun dengan jalan cerita realistis yang sedikit banyak
mengisahkan permasalahan nyata yang terjadi dalam masyarakat. Judul Saman
diambil dari nama samaran tokoh utama yaitu
Athanasius Wisanggeni. Untuk suatu alasan Wis mengganti namanya menjadi
Saman, semua itu dilakukan untuk membuatnya aman dari segala ancaman yang
didapatnya setelah membantu penduduk dusun menghidupkan kebun karetnya.
Selain Saman, pembaca juga akan dikenalkan pada empat sosok wanita
yang telah lama bersahabat. Yasmin si gadis cerdas nyaris sempurna dengan
segala kelebihan yang dimilikinya sehingga membuatnya menjadi wanita yang
diidamkan laki laki. Lalu Laila, gadis perawan yang sangat mencintai Sihar si pria
beristri, cintanya utuh dan tulus, ia tak segan berkorban untuk Sihar meski
kadang mendapat balasan yang tak mengenakkan. Ada juga Shakuntala, si gadis
pemberontak yang menganggap dirinya adalah seorang peri yang gemar menari. Ia
merupakan sahabat Laila yang memilki sikap setia kawan yang royal namun sangat
membenci ayah dan saudaranya. Juga ada si Binal, Cok yang sering bergonta ganti
pacar. Pembaca juga akan menemukan Sihar yang memang jika dilihat dari beberapa
sisi merupakan pria menyebalkan yang berselingkuh dari istrinya. Namun Sihar
itu pekerja keras dan sopan, tak pernah berkata kasar pada perempuan, ia sangat
menghormati perempuan.
Dan tokoh utamanya, Saman, merupakan pemuda yang sebenarnya baik
hati. Ia begitu menyayangi Upi, gadis yang kehilangan kewarasannya dan sering
meresahkanb warga karena gemar memperkosa ternak. Saman yang saat itu masih
mamakai nama aslinya yaitu Wisanggeni, membangunkan tempat pengurungan yang
lebih nyaman untuk Upi. Ia bahkan juga membantu warga warga dusun yang masih
tertinggal untuk memperbaiki perkebunan dan membangun sebuah rumah produksi dan
banguinan yang dapat menghasilkan listrik untuk warga. Wis rela berkorban,
dianiaya, dan bahkan hampir terbakar hidup hidup untuk membela hak hak warga kampung
yang hendak diambil oleh orang orang yang mengatasnamakan diri sebagai pesuruh
Gubernur.
Selain konflik mengenai pertambangan minyak tempat kerja Sihar dan
perkebunan karet warga yang mulai dibangun oleh Wis, novel ini juga menunjukkan
sisi menarik pada para pembaca lewat kisah kasih yang terjalin diantara para
tokohnya. Saman akan membuat pembacanya mengembangkan imajinasinya dengan bebas
lepas.
Penulisan novel Saman dilatar belakangi oleh peristiwa pemecatan
kerja yang terjadi setelah penulis melakukan demo saat terjadinya pemberedelan
pada tahun 1994. Ia yang awalnya bekerja sebagai seorang wartawan jurnalistik
menyadari bahwa ia tidak bisa hanya menulis
berita. Ia harus menulis tulisan yang dapat mencerminkan pikiran dan
perasaanya. Pilihannya jatuh kepada sastra dengan tidak meninggalkan unsur
seks, agama, dan fantasi miliknya, hingga akhirnya, terbitlah Saman sebagai
hasil dari buah pikirannya.
Novel ini ditulis menggunakan bahasa yang teramat indah, penyajian
alur campuran yang disampaikan agaknya menambah nilai plus dari novel ini.
Setiap deskripsi tingkah polah pelaku digambarkan penulis secara apik. Novel
ini juga memiliki teramat banyak pesan moral yang sepatutnya layak untuk
dikaji. Penulis juga membebaskan pemikiran pembaca tentang jalur ceritanya,
tidak menggiring opini pembaca untuk sama satu suara. Hal ini teramat perlu
diapresiasi
Hal yang
perlu dikritisi mungkin tentang beberapa isi novel yang sebaiknya tidak boleh
dibaca anak usia dibawah 17 tahun. Dan mungkin karena keindahan bahasa yang
ditulis oleh penulis agaknya membuat beberapa kalimat terlalu sulit dipahami
maknanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar