Kamis, 10 Desember 2020

Resensi Buku Saman, Ayu Utami

 

Resensi Buku Saman

Judul               : Saman

Penulis             : Ayu Utami

Penerbit           : Kepustakaan Populer Gramedia

Tahun Terbit       : 2013

 

            Ayu Utami memiliki nama asli Justina Ayu Utami yang merupakan seorang aktivis jurnalis dan sastrawan berkebangsaan Indonesia. Ayu dikenal sebagai novelis sejak novelnya Saman memenangi sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 1998. Ia dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan khususnya masalah seks dan agama. Beberapa novel karyanya selain Saman yaitu Larung (2001), Bilangan Fu (2008), dan Novel Manjali Dan Cakrabirawa (2010), ia juga menulis biografi yaitu Cerita Cinta Enrico (2012) dan Soegija : 100% Indonesia (2012),  Juga menulis esai berjudul Si Parasit Lajang (2003) dan masih ada lagi yang lain. Ayu Utami menyabet banyak penghargaan diantaranya adalah roman terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1998 (untuk Saman), Prince Claus Award 2000, dan Khatulistiwa Literary Awards, kategori prosa pada tahun 2008 untuk novelnya Bilangan Fu.

Saman merupakan novel bergenre fiksi namun dengan jalan cerita realistis yang sedikit banyak mengisahkan permasalahan nyata yang terjadi dalam masyarakat. Judul Saman diambil dari nama samaran tokoh utama yaitu  Athanasius Wisanggeni. Untuk suatu alasan Wis mengganti namanya menjadi Saman, semua itu dilakukan untuk membuatnya aman dari segala ancaman yang didapatnya setelah membantu penduduk dusun menghidupkan kebun karetnya.

Selain Saman, pembaca juga akan dikenalkan pada empat sosok wanita yang telah lama bersahabat. Yasmin si gadis cerdas nyaris sempurna dengan segala kelebihan yang dimilikinya sehingga membuatnya menjadi wanita yang diidamkan laki laki. Lalu Laila, gadis perawan yang sangat mencintai Sihar si pria beristri, cintanya utuh dan tulus, ia tak segan berkorban untuk Sihar meski kadang mendapat balasan yang tak mengenakkan. Ada juga Shakuntala, si gadis pemberontak yang menganggap dirinya adalah seorang peri yang gemar menari. Ia merupakan sahabat Laila yang memilki sikap setia kawan yang royal namun sangat membenci ayah dan saudaranya. Juga ada si Binal, Cok yang sering bergonta ganti pacar. Pembaca juga akan menemukan Sihar yang memang jika dilihat dari beberapa sisi merupakan pria menyebalkan yang berselingkuh dari istrinya. Namun Sihar itu pekerja keras dan sopan, tak pernah berkata kasar pada perempuan, ia sangat menghormati perempuan.

Dan tokoh utamanya, Saman, merupakan pemuda yang sebenarnya baik hati. Ia begitu menyayangi Upi, gadis yang kehilangan kewarasannya dan sering meresahkanb warga karena gemar memperkosa ternak. Saman yang saat itu masih mamakai nama aslinya yaitu Wisanggeni, membangunkan tempat pengurungan yang lebih nyaman untuk Upi. Ia bahkan juga membantu warga warga dusun yang masih tertinggal untuk memperbaiki perkebunan dan membangun sebuah rumah produksi dan banguinan yang dapat menghasilkan listrik untuk warga. Wis rela berkorban, dianiaya, dan bahkan hampir terbakar hidup hidup untuk membela hak hak warga kampung yang hendak diambil oleh orang orang yang mengatasnamakan diri sebagai pesuruh Gubernur.

Selain konflik mengenai pertambangan minyak tempat kerja Sihar dan perkebunan karet warga yang mulai dibangun oleh Wis, novel ini juga menunjukkan sisi menarik pada para pembaca lewat kisah kasih yang terjalin diantara para tokohnya. Saman akan membuat pembacanya mengembangkan imajinasinya dengan bebas lepas.

 

Penulisan novel Saman dilatar belakangi oleh peristiwa pemecatan kerja yang terjadi setelah penulis melakukan demo saat terjadinya pemberedelan pada tahun 1994. Ia yang awalnya bekerja sebagai seorang wartawan jurnalistik menyadari bahwa ia tidak bisa hanya menulis  berita. Ia harus menulis tulisan yang dapat mencerminkan pikiran dan perasaanya. Pilihannya jatuh kepada sastra dengan tidak meninggalkan unsur seks, agama, dan fantasi miliknya, hingga akhirnya, terbitlah Saman sebagai hasil dari buah pikirannya.

Novel ini ditulis menggunakan bahasa yang teramat indah, penyajian alur campuran yang disampaikan agaknya menambah nilai plus dari novel ini. Setiap deskripsi tingkah polah pelaku digambarkan penulis secara apik. Novel ini juga memiliki teramat banyak pesan moral yang sepatutnya layak untuk dikaji. Penulis juga membebaskan pemikiran pembaca tentang jalur ceritanya, tidak menggiring opini pembaca untuk sama satu suara. Hal ini teramat perlu diapresiasi

Hal yang perlu dikritisi mungkin tentang beberapa isi novel yang sebaiknya tidak boleh dibaca anak usia dibawah 17 tahun. Dan mungkin karena keindahan bahasa yang ditulis oleh penulis agaknya membuat beberapa kalimat terlalu sulit dipahami maknanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Burung Simbah

Selepas sembahyang magrib, ibuk bapak selalu menyempatkan diri untuk mengobrol. Kadang di teras, di ruang tamu atau ketika duduk lesehan di ...