Kamis, 10 Desember 2020

Resensi Buku Gadis Kretek, Ratih Kumala

 

Resensi Buku Gadis Kretek

 


Judul               : Gadis Kretek

Penulis             : Ratih Kumala

Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit    : 2012

 

Ratih Kumala merupakan penulis asal Indonesia yang banyak menulis karya berupa novel, cerita pendek, dan skenario. Selain novel “Gadis Kretek” yang berhasil masuk dalam 10 besar penerima penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa sehingga semakin melambungkan namanya, Ratih Kumala juga menulis banyak karya karya lain seperti Novel Tabula Rasa yang menjadi pemenang ketiga lomba menulis novel Dewan Kesenian Jakarta, Novel Genesis, Kumpulan Cerpen Larutan Senja, Novel Kronik Betawi, Novel Bastian dan Jamur Ajaib, dan juga  novel berjudul Wesel Pos.

Gadis Kretek merupakan novel bertema unik yang mengambil topik berupa Kretek. Pembaca akan diajak berselancar untuk mengulas balik bagaimana sebenarnya perkembangan kretek utamanya di Pulau Jawa. Bahkan dengan disertai ilustrasi berbagai merk dagang kretek dan cerita dibaliknya.

Diawal cerita, kita akan disuguhi lakon utama seorang pemuda bernama Lebas yang merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara yang merupakan pewaris pabrik rokok “Djagad Radja”. Pembaca akan dibuat penasaran pada sosok “Jeng Yah” yang namanya sering disebut sebut oleh Soeradja ketika pria tua itu sedang tidak sadarkan diri atau dalam keadaan tertidur. Ketiga anak Soeradja yaitu Lebas, Tegar, dan Karim memilih mencari tau siapa sebenarnya sosok Jeng Yah yang sepertinya sangat dirindukan oleh Ayahnya yang bahkan nama ibu mereka, Purwanti pun tidak pernah disebut. Lebas menduga, Jeng Yah ini adalah wanita masa lalu Ayahnya, mungkin semacam mantan kekasih?.

Lalu mengapa judul novelnya adalah “Gadis Kretek?” pertanyaan ini akan terjawab melalui petualangan tiga bersaudara ini mengitari kota kota kretek dan kilas balik mengenai masalalu Ayah mereka. Dibumbui pertengkaran pertengkaran dari Tegar si sulung dan Lebas si bungsu yang memang tidak pernah akur, dan Karim lah sebagai anak kedua yang akhirnya terpaksa mengalah dengan selalu menjadi penengah diantara keduanya. Tegar merupakan sosok yang tegas, disiplin, pekerja keras, dan penurut. Sikapnya yang demikian inilah yang agaknya menjadi faktor terpilihnya Tegar sebagai Direktur Utama Pabrik Rokok “Djagad Radja” selain karena dia yang memang merupakan putra sulung. Sejak kecil, Tegar telah dilatih dan dibekali oleh Ayahnya dasar dasar menjadi pemimpin pabrik. Tegar belajar cara melinting rokok, memilih bahan baku, hingga ke manajemen pabrik meski itu artinya masa remajanya harus ia habiskan untuk mempelajari seluk beluk pabrik. Berbeda dengan abangnya, Lebas merupakan pemuda bujang berjiwa bebas. Ia selalu melakukan apapun yang diinginkannya sehingga hidupnya terkesan asal asalan. Sedangkan Karim, dia yang paling kalem. Menjadi anak penurut bahkan saat terpaksa harus mendengarkan dongeng dongeng dari kakeknya yang kelak, akan menjadi berguna saat mereka mancari keberadaan Jeng Yah.

Dan dari sini, kita akan mengetahui alasan mengapa Soeradja begitu mendamba kehadiran Jeng Yah disaat saat terakhir dalm hidupnya, ia ingin bertemu Jeng Yah, Gadis Kreteknya.

 

            Alasan penulis menulis novel Gadis Kretek didasari oleh rasa penasarannya pada pabrik kretek milik sang kakek yang sayangnya sudah meninggal sebelum penulis lahir. Penulis juga melakukan riset selama kurang lebih empat tahun dengan mendatangi pabrik pabrik kretek yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk mendapatkan gambaran seperti apa perkembangan dari kretek itu sendiri. Dan dengan dikombinasikan dengan ide cerita yang penulis punya, jadilah novel hebat ini.          

Bagi saya, novel ini sangat keren. Produk lokal Indonesia yang memiliki jalan cerita menarik dan penuh pengajaran apalagi dilatar belakangi tempat tempat atau kota yang ada di Indonesia seakan membuat saya dapat sedikit membayangkan cerita ini secara nyata meski hanya dalam imajinasi saya. Gaya bahasa novel ini terkesan nyaman dan membuat pembaca betah membacanya tanpa harus bingung dengan jalan cerita atau kalimat yang berbelit belit. Cukup simple namun dengan jalan cerita anti mainstream yang akan membuat pembaca tidak akan pernah menduga akan seperti apa endingnya. Beberapa peristiwa sejarah juga diceritakan secara singkat lewat novel ini sehingga pembaca sedikit memiliki gambaran seperti apa penjajahan jepang, peristiwa proklamasi, hingga sampai pada G30S PKI dilihat dari sudut pandang rakyat biasa. Dalam novel ini pembaca akan juga dibuat gemas dengan polah pemilik pabrik kretek “Djagad Radja” Soedjagad dan Soeradja. Juga mungkin akan terpikat pada sosok Jeng Yah. Perbedaan zaman antara tiga generasi pun turut menyumbang kelayakan novel ini menjadi 10 besar penerima penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2012.

Namun, hal yang sedikit disayangkan adalah tentang endingnya yang menurut saya kurang memuaskan. Entah karena apa, dibagian bagian akhir sepertinya terasa terlalu tergesa gesa menuju Ending sehingga hasilnya kurang pas. Selebihnya, dua jempol untuk buku karya Ratih Kumala.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Burung Simbah

Selepas sembahyang magrib, ibuk bapak selalu menyempatkan diri untuk mengobrol. Kadang di teras, di ruang tamu atau ketika duduk lesehan di ...