Rabu, 17 November 2021

Burung Simbah

Selepas sembahyang magrib, ibuk bapak selalu menyempatkan diri untuk mengobrol. Kadang di teras, di ruang tamu atau ketika duduk lesehan di depan televisi. Malam ini ibuk bercerita tentang tetangga kami yang merupakan sesepuh Desa sekaligus guru mengaji ibuk, Mbah Ji. Konon, kakek Mbah Ji adalah ulama pertama di desa kami.

Namun bukan itu yang dibahas ibuk malam ini, melainkan kedatangan dua cucu Mbah Ji yang memang rumahnya cukup jauh, ibuk bilang ada di dekat kaki Gunung Lawu bagian utara. Mbah Ji memiliki banyak cucu, namun yang paling banyak dikenal oleh tetangga sekitar rumah kami adalah Srintil, sebab sikapnya yang kelewat ramah dan banyak tingkah.

Kemarin, Srintil tiba di kediaman Mbah Ji petang hari, bersama kakaknya Rara Anteng. Dipanggil demikian sebab Kakak Srintil memang berlaku lemah lembut dan penurut, hanya pada kebandelan Srintil lah Rara Anteng akan cerewet. Kedatangan Srintil disambut riang oleh kakeknya, rumah Mbah Ji biasanya sepi karena hanya ditinggali berdua dengan anak bungsunya, Mas Rahmat.

Srintil memang banyak tingkah, ketika di dekat Mbah Ji, mulutnya akan sibuk bertanya kesana kemari. Tak habis topik yang dibahas oleh Srintil, barangkali itulah yang membuat rumah Mbah Ji ramai hari ini. Meski hanya diisi oleh 4 orang, Mbah Ji, Srintil, Rara Anteng dan Mas Rahmat, rumah Mbah Ji dibanjiri gelak tawa dari para penghuninya. Namun pertanyaan Srintil kali ini, ternyata mengagetkan semua orang.

“Mbah Ji, bagaimana Srintil bisa bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, padahal Srintil tidak pernah benar benar menyaksikan keberadaan Allah? Srintil kan tidak pernah melihat Allah,”

“Woo bocah gemblung, murtad ya kowe? “ Mas Rahmat geleng-geleng kepala sambil menjawil dagu Srintil, kebiasaannya ketika gemas dengan tingkah Srintil.

“Jangan nanya macem-macem sama Mbah Ji, Srintil. Pertanyaanmu seperti orang yang tidak beriman saja,” tegur Rara Anteng.

Tidak seperti Mas Rahmat dan Rara Anteng yang nampak prihatin mendengar pertanyaan konyol Srintil, Mbah Ji hanya tersenyum maklum, cara Mbah Ji menanggapi pertanyaan inilah barangkali yang membuat Srintil begitu menyukai kakeknya.

“Oh jadi ini sebabnya ya Srintil tidak lagi pernah sembahyang? “.

Srintil sedikit keget mendapati Mbah Ji mengetahui ia tak lagi mengerjakan sholat yang lima waktu, ingin Srintil bertanya darimana Mbah Ji tau rahasia tersebut. Namun ia urung, jawaban mengenai kesaksian terhadap tuhan jauh lebih membuat gadis itu penasaran.

“Ndhuk, beberapa hal memang tidak mampu dilihat oleh mata, sebab kemampuan manusia terbatas. Apalagi Srintil kan hanya makhluk, hanya abdi, hanya hamba. Tugas sebenarnya ya hanya ngikut perintahnya Gusti sing Maha Kuasa tok kan? Hal-hal seperti itu Ndhuk, hanya bisa dilihat pakai batin, batin itu punya mata lo,”.

“Terus bagaimana caranya biar batin Srintil bisa melihat Tuhan, Mbah Ji? “.

“Srintil sudah sembahyang? “.

“Srintil sudah tidak pernah sholat, Mbah Ji,”.

“Nah, syariatnya saja Srintil belum laksanakan. Syarat awalnya itu Ndhuk, ya harus sembahyang lima waktu. Sekarang ndak papa dipaksa dulu, nanti biar Srintil terbiasa,”.

“Setelah itu Mbah Ji? “.

“Sembahyang yang benar dulu Ndhuk, nanti Srintil nemu sendiri jawabannya,”.

Hari itu Srintil harus puas dengan jawabannya Mbah Ji yang seperti itu. Srintil sangat mempercayai apapun yang dikatakan kakeknya, terkadang jika sedang tidak malas, Srintil akan melakukan apapun yang diucapkan Mbah Ji seketika itu juga. 




Hari ini, Srintil kembali berulah. Gadis itu tidak kunjung pulang meski jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Rara Anteng geram dengan kebandelan adiknya, sejak sore tak habis ia mengomel sambil memijat pelipisnya yang berdenyut pusing. Sementara Mas Rahmat sibuk menelpon kesana kemari, menanyakan kepada siapapun yang dirasa mengenal Srintil dan bertanya tentang keberadaan keponakannya, namun nihil.

Srintil baru pulang setengah jam kemudian. Padahal biasanya, sebelum magrib gadis itu sudah rapi dimeja belajar dan asyik berkutat dengan PR PR sekolahnya. 

Tanpa mandi dan membersihkan diri terlebih dahulu, Srintil langsung merebahkan dirinya di sofa panjang ruang tamu. Sama sekali tidak merasa bersalah pada wajah cemas Mbah Ji dan lirikan tajam Rara Anteng. Sementara Mas Rahmat hanya menepuk jidat Srintil pelan karena gemas. 

“Srintil dari warung kopi Mbah Ji, tadi ada Mas gondrong yang bertanya begini : yang benar aku berpikir maka aku ada, atau aku ada maka aku berpikir? Srintil jadi bingung sendiri,”.

“Iya sudah, Srintil makan dulu sana, tadi Mbakmu sudah masak banyak,”.




Esok paginya, Srintil berkeliling rumah, mengabsen satu persatu burung peliharaan Mbah Ji yang jumlahnya ada belasan, Srintil hafal beberapa nama. Namun ia kebingungan karena tambahan personel burung burung baru yang jumlahnya cukup banyak.

Mbah Ji yang sedang asyik membuat kandang baru dari bambu, dengan sabar memperkenalkan satu persatu nama burung peliharaannya yang rata-rata berjenis perkutut, dara dan puter. 

Hanya sedikit yang mampu Srintil hafal namanya, Happy yang bangunnya paling pagi, lalu ada Pelung dan Mbali yang tidurnya sekandang berdua, Welas yang paling merdu suaranya, ada Sekar, Melati, Bunga, Baja Hitam, dan Kalang, sisanya Srintil tidak hafal.

“Kandang barunya buat siapa, Mbah Ji? “.

“Buat Srintil,”.

Srintil mencebik, mengira Srintil yang dimaksud adalah dirinya, kenapa anak manusia seperti dirinya dibuatkan kandang?

“Srintil itu yang paling nakal, sukanya cuma eker eker makanan saja, jadi mengotori halaman depan. Sudah itu jarang sekali mau bersuara, sekalinya mau, suaranya cempreng,” keluh Mbah Ji sambil menata batang bambu.

“Burungnya ada yang dikasih nama Srintil Mbah? Yang mana? “.

Srintil baru tahu jika burung nakal yang kandangnya ada didekat pintu itu bernama Srintil. Tiap Srintil awasi, burung itu asik membuang buang makananya, tercecer dan mengotori halaman. Srintil pernah memarahinya : jangan nakal dan jaga kebersihan, jika tidak ia sendiri yang akan menjualnya ke pasar tanpa sepengetahuan Mbah Ji. Siapa yang menyangka burung nakal itu memiliki nama yang persis sepertinya.

“Kenapa yang tidak bisa diam seperti itu yang diberi nama Srintil, Mbah? Kenapa ndak yang sampingnya saja itu, yang anggun dan tidak banyak gerak,”.

“Kalau yang disebelahnya Srintil itu sudah ada namanya, Rara Anteng,”.

Srintil sungguh kesal, kenapa burung anggun itu tidak diberi nama Srintil saja? Mengapa harus memakai nama Rara Anteng? Ditengah kejengkelannya tersebut, Mas Rahmat terlihat sibuk menuntun motornya keluar halaman. 

“Mamas mau kemana? “.

“Beli makan, Srintil mau ikut? “.

Srintil dengan senang hati langsung duduk diatas motor, padahal sejak bangun pagi tadi gadis itu belum mandi, mencuci muka pun dilakukan sembarangan. 

Di pasar, Srintil asik bertanya ini dan itu, Mas Rahmat yang memang terbiasa dengan pertanyaan Srintil yang macam-macam tidak lagi kesusahan manjawab.

“Mamas, memang warung warung yang saling berjejer itu ndak pada iri? Dagangan mereka kan sama, berarti otomatis mereka saingan kan? Kalau berjajar banyak begitu, yang paling ujung memang ada yang beli? “

“Srintil kan tahu, rezeki itu Allah yang ngatur. Mau jualannya sama persis pun, rezekinya beda, Srintil. Tenang aja, semua makhluk Allah dijamin kok rezekinya,”.

Keterdiaman Srintil membuat Mas Rahmat tersenyum.

“Ngga masuk logika ya? Memang beberapa hal itu kadang ngga masuk akal, Srintil. Contohnya saja Mbah Ji, dengan usia yang sudah termasuk tua begitu, siapa yang sangka Mbah Ji masih bisa hidup tanpa minta bantuan apapun ke anak anaknya? Bahkan Mas juga masih sering dapet uang saku. Padahal Srintil kan tahu Mbah Ji ndak pernah kerja,”.

Srintil melotot setuju, kepalanya mengangguk angguk heboh. Iya juga, Mbah Ji kan ndak punya pekerjaan, bagaimana dapat uangnya? Mbah Ji tidak mungkin juga kan punya tuyul?

“Mbah Ji itu udah ndak kerja tapi masih aja ngurus ngurus burung, mana tambah banyak lagi burungnya. Menghabiskan uang saja,” Srintil mendumel.

“Loh? Kata siapa? Justru burung-burung itu, Srintil, yang ngasih makan ke Mbah Ji sama Mas,”.

“Lah kok begitu? “.

“Kan tadi Mas bilang, setiap makhluk Allah itu rezekinya sudah dijamin, termasuk burung-burung peliharaan Mbah Ji. Jadi ngga mungkin Allah mau memutus rezekinya Mbah Ji, karena Mbah Ji perantara Allah ngasih rezeki ke burung burungnya. Lewat manapun itu, rezekinya Mbah Ji selalu aja akan dateng,”.

Ah iya juga, besok jika sudah besar, Srintil tidak perlu ah cari kerja. Pelihara burung saja!

Minggu, 07 November 2021

Kolam yang Dingin

Bilqis (2 tahun) 


Kamar adalah penjara dingin yang seringkali memberi rengkuhan suasana paling nyaman. Acap kali alih-alih bertualang pada keindahan pesona ciptaan sang kuasa, melamun dalam kamar terasa lebih asyik dan tentunya tak merepotkan. Tapi hari itu, dengan terpaksa saya tinggalkan keramahan si penjara dingin, beranjak untuk duduk selincak dengan bapak-bapak yang begitu mesra menyesap gelas kopinya.

Ah tapi kesempatan baik tidak datang kepada saya hari itu, sebab syarat yang diajukan olehnya adalah membuat menangis pengunjung warung kopi yang dengan saya beliau tidak kenal, dan saya tidak pula mengenal beliau. Karena kebetulan yang sedang jagongan kala itu adalah tetangga-tetangga saya, saya urung mampir. Nanti saja ah kemari lagi, objek sasaran kali ini belum memenuhi syarat.

Setelah Sabtu pagi yang muram karena kegagalan, siangnya keponakan saya menelpon, minta jemput katanya sudah waktunya pulang sekolah. Sebagai sopir rumah tanpa gaji, saya tak kuasa menolak, akhirnya saya berangkat juga. Tapi memang sialan! Sepanjang jalan yang terlewati, 3 warung sudah saya dapati sedang terisi oleh bapak-bapak yang saya mengenal beliau, dan beliau-beliau mengenal saya pula, sebagai anak Ayah.

Siang itu, tiba-tiba Ayah salah seorang anak yang saya “bantu” belajarnya menelpon,

“Kesini kan, Mbak? Bunga dan Fajar kan besok lombanya, jadi mohon dibantu ya,”.

“Baik Bapak, nanti saya kesana,” 

Ahh manis kali mulut ini menjawab, padahal ada perasaan nggerundel pula dalam hati. Saya kira Sabtu dan Minggu adalah waktunya saya istirahat menugas, tugas kuliah dan tugas yang lain. Nah tapi, bisa-bisanya Sabtu dan Minggu ini saya harus menemani adik-adik kecil itu belajar. Tuhan, kalau saya sambat saya capek, pasti Engkau bosan ya? Tapi kalau tidak, saya beneran capek, Tuhan.

Dan kurang ajarnya lagi, hujan lebat turun sore itu ketika saya dalam perjalanan ke rumah adik-adik. Lebat sekali, rintiknya sampai mewarnai aspal hitam menjadi putih. Sebab saya tak bawa jas hujan, saya berteduh dirumah yang hari itu tertutup pintunya. Saya tersenyum ketika mendapati warung kopi didepan tempat saya berteduh yang penuh oleh bapak-bapak petani.

“Wah asyik, Tuhan membalas doaku sebab bapak-bapak incaranku tengah berkumpul diwarung itu,” batin saya bersemangat.

Tapi sebenarnya Tuhan tak membalas doa saya sebab saya memang tak pernah berdoa, haha. Saya ingat meninggalkan dompet diatas meja ketika berangkat tadi. Wah bodoh sekali, untung saja saya tak jadi mampir ke warung depan itu, bisa-bisa saya mempermalukan diri sendiri dengan tidak membawa uang.

Malamnya, saya tenggelam dalam mesranya diskusi bersama teman seperjuangan dan beberapa senior. Dalam hati, seringkali saya kagumi bagaimana cara Mas dan Mbak saya tersebut menyampaikan ilmu kepada adik-adiknya. Karena itu, saya mencoba peruntungan dengan bertanya “Bagaimana sih supaya bisa seperti itu cara ngajarnya?”. Tapi ya seperti biasa, bukan saya namanya jika tak membikin kesalahan. Cara saya menyampaikan pertanyaan terdengar lain dengan maksud saya, bahkan terkesan menjelek jelekkan? Ahh yasudahlah, akan percuma jika saya menjelaskan. Teman dekat saya pernah berkata “Kadang memang perkataanmu semenyebalkan itu Nggi, tapi aku pribadi tau, kamu bukan orang jahat,”

Karena hal tersebut, semalaman saya susah tidur, enggan menyentuh ponsel pula. Akhirnya saya hanya melamun, bersenda gurau dengan malam yang selalu sok kenal dan sok dekat pada diri ini, saya membencimu malam. Gara-gara si Malam, pagi saya jadi kesiangan. Terburu buru saya bangun dan menyelesaikan aktivitas pagi. Saya ingat pukul 10 pagi ini saya seharusnya menemani kedua murid saya lomba.

Saya menyetujui untuk datang sebelum pukul sepuluh, tapi karena terlalu lama mandi, 10.02 saya baru tiba dirumah mereka, padahal lomba dimulai pukul 10.00 tepat. Kedua murid saya dengan panik langsung membrondong saya dengan pertanyaan “Bagaimana ini Mbak lombanya?”. Haha, santai saja, Dik, jika panik kalian justru akan membuat kesalahan, kasihan yang sudah selama seminggu ini kena gemblengan.

Setelah mengotak atik ponsel mereka, keduanya lalu mulai asyik tenggelam dalam susahnya soal olimpiade. Tak apa, Dik, percaya padaku, usaha tak akan menghianati hasil. Lalu selesai mengumpulkan jawaban, saya ajak mereka membeli es krim. Sambil berharap ada yang bisa saya wawancarai. Nyatanya nihil, toko es krim sedang sepi. Saya jadi ingat ketika hendak mengajak ngobrol tukang siomay dan beliau tengah asyik berkabar dengan sang istri lewat pesan singkat. Sialan, mengapa rasanya saya menjadi selingkuhan tukang siomay yang sama sekali tak digubris!

Tapi siapa yang bisa mengira perihal jodoh? Setelah mengantarkan adik-adik pulang ke rumah dengan bungkusan es krimnya, saya langsung pulang. Adik perempuan saya tersenyum dan menyapa ceria, seperti biasa. Haha, taukah kamu, Dik? Senyum ceriamu itu adalah obat pelepas penat dan sakit hati? Iya, seistimewa itu, Dik. Karena itu jangan pernah berhenti tersenyum.

Entah mengapa tiba-tiba saya terpikir untuk mengajak adik saya pergi berenang. Dengan persiapan mendadak dan omelan Ibuk untuk jangan lupa mencuci piring sebelum berangkat, akhirnya disinilah kami sekarang, asyik tenggelam dalam dinginnya air kolam.

Seperti yang sudah saya katakan, jodoh tak kan kemana, nyatanya saya bisa mengobrol tidak di warung kopi, tapi dipinggir kolam renang sambil mengamati senyum anak-anak yang girang diguyur dinginnya air kolam. Saya yang kala itu berenang dengan adik saya yang memang umurnya masih dua tahun, mengundang beberapa anak kecil lain untuk usil menjawil pipi gembulnya, mereka gemas katanya. Tak lupa bertanya “Halo namamu siapa?” dengan nada akrab. “Bilqis namanya,” jawab saya.

Saya duduk dipinggir kolam ketika mendapati adik saya kedinginan, disamping saya remaja yang saya taksir masih bocah SMP sedang tersenyum memandang temannya. Ketika melirik adikku, seperti yang dilakukan anak-anak lain sebelumnya, dia menyapa dan bertanya nama si gembul. “Namanya Bilqis, kalau namamu siapa?” saya balik bertanya.

“Novi, Mbak”. Minggu sore itu, saya berjodoh untuk mengobrol dengan Novi. Dia dari Desa Bendo, letaknya lumayan jauh lah jika dari tempat tinggal saya. Ia ditemani temannya yang bernama Risma. Mudah saja mengenali Risma, karena saya rasa Risma adalah anak yang memiliki badan paling berisi dibanding anak-anak lain dikolam ini.

“Aku kelas 3 SMP Mbak, SMP di Pangkur,” oh anak yang ramah, meski saya membeci anak SMP secara umum (karena peringai mereka yang sedang berada di fase sok jago dan sok cantik), saya nyaman nyaman saja mengobrol dengan Novi, karena anaknya kalem pula.

“Novi punya adik kah?”

“Punya Mbak,”

“Umur berapa?”

“Ehh, nggak tau Mbak,” jawabnya sambil cengengesan, tapi entah kenapa senyum itu justru terlihat getir.

Melihat ekspresi bingungku, Novi tersenyum. “Ndak tinggal serumah Mbak, jadi ndak tau,”

Ketika saya tanya mengapa bisa begitu, Novi malah bercerita bahwa orang tuanya telah bercerai. Ahh, saya sangat terkejut  dan tidak siap tentang ini, bahkan saya menjadi gagu saking bingungnya. Novi bilang, ia tinggal dengan Ayah dan neneknya. Ibunya tak pernah datang menjenguk, sebab sedang bekerja diluar negeri, dan adiknya bersama neneknya yang lain.

Ahh, kasihan sekali kamu Novi, mungkin kamu tidak seberuntung temanmu yang masih bisa merasakan bagaimana rasanya dimasakkan, dicari dan bahkan diomeli oleh ibunya. Tapi percaya ya Novi, akan ada kebaikan entah apapun itu buatmu. Tenang saja, itu sudah menjadi janji Tuhan, bahwa beserta kesulitan itu ada kemudahan. Tapi tentu saya terlalu pengecut untuk mengatakannya, saya hanya berani menatapnya sambil tersenyum. Berharap dari situ Novi akan tau, Novi tidak sendiri, karena saya juga tahu bagaimana rasa sakit yang itu.


Kamis, 27 Mei 2021

Sampai Menangis!


“Harus mulai dari mana Mas?”

Entah datang dari mana tapi memang si periang yang selalu optimis akan apapun yang datang dari masa depan tersebut memang sudah hilang. Tinggal si tukang ngeluh yang hobi menangis, dia takut pada malam.

Jika aksara itu bernada, pasti si pembaca menangkap nada keputus asaan disana.

Obrolan ringan tersebut bermula dari si malas yang pada episode kali ini merengek pada kakak laki-lakinya. Bertanya dengan sedikit memaksa.

"Bisakah penyesalan itu ditiadakan? Tolong dihilangkan," Begitu tuntutan yang dilayangkannya kali ini. 

Laki-laki itu paham, tentu saja ia harus tahu tentang apapun yang terjadi pada adiknya, termasuk segala masa lalu yang begitu ditakuti si adik. Adiknya memang penakut, tapi masa lalu itu lebih ia benci dari pada malam.

“Nasi sudah jadi bubur, ngga akan bisa dirubah, Mas,” kata si malas.

“Gunanya apa kamu baca Bismillah?”

Catatan : Ehm, terlalu sulit jika harus memakai sudut pandang ketiga. Jadi setelah membaca kalimat ini, anggap saja si malas adalah saya. 

Batin saya menggerutu, memang apa pengaruhnya? Tidak ada. Menurut saya, dengan atau tanpa Bismillah rasanya sama saja. 

“Saya sudah tidak pernah membacanya lagi,”

Dianggap kafir pun boleh, memang begitu adanya. Sudah sejak lama kata sakral tersebut tidak lagi bermakna bagi saya.

“Lepas saja kerudungmu,” pesan yang dikirimnya macam bernada cemoohan.

Anj- 

Ah tak jadi, jangan lagi menambah dosa dengan memanggil si gugug.

“Saya masih waras Mas, jika tidak bisa mendoakan yang baik untuk orang tua, setidaknya saya tidak menyeret ayah saya ke neraka dengan lepas kerudung,”

Saya harap dia tahu saya sedang kesal.

“Tugasmu malam ini, baca surah Al-Ashr, sampai menangis,”

Gila ya? Malas sekali. Mana bisa baca surah sampai nangis? Al-Ashr? Memang apa isinya? Sejak kelas 3 SD saya sudah hafal artinya diluar kepala.

“Nggeh Mas,” (artinya : Iya)

Meski tidak menyukai gagasanya kali ini, tetap saja harus dilakukan kan? Kalau boleh jujur saya menghormatinya sebagai kakak yang baik. Karena itu menurut dan mengalah adalah solusi terbaik. 

Keengganan itu saya lampiaskan dengan mengirim pesan ke salah seorang teman.

“Hei, mau kuberi tahu sesuatu?”

“Apa?”

Sikap antusiasnya itu sedikit menghibur hati saya.

Saya beberkan percakapan saya tadi, dengan ending yang menggebu gebu memberitakan bahwa kini saya sedang dapat tugas. Tapi dengan sama sekali tidak menyinggung masa lalu kelam yang pada dasarnya menjadi pokok permasalahan bagaimana tugas ini dapat terbentuk. Malulah, sudah cukup, jangan ada lagi yang tahu. Menjijikkan. 

“Kamu tahu mata kanan saya sedang bintitan kan? Bagaimana saya harus menangis? Akan seperti apa bentuknya bila bangun nanti?”

Malam itu, dengan mata kanan yang cenut cenut, saya coba baca. Tengah malam dan nyawa saya tinggal separo dibawa kantuk.

Saya ambil Quran kecil berikut terjemahannya. Baru sebulanan lah saya beli, setelah kena tipu shop** akibat kurang berhati-hati. Saya buka kitab yang konon merupakan yang paling sakti tersebut.

Baca sekali, tidak menangis.

Dua kali, tidak menangis. Harus sampai menangis ya?

Tiga kali, tidak menangis. Ada apa sih dengan surat ini? saya hafal artinya kok. Dan biasa saja.

Kesekian kali,

1. Demi masa.

2. Sungguh manusia berada dalam kerugian.

Cukup, saya rasa pipi saya basah. Ahh, ini ternyata.

Esoknya, ketika kakek saya yang tinggal di Jombang menelpon, saya bertanya dengan nada memaksa.

“Mbah, kalau saya serius kuliahnya, saya bakal sukses kan?”

Kamu akan membenci saya jika mendengar pertanyaan menuntut tersebut.

“Iya,”

Ahh, simple sekali jawabnya. Tapi senyum itu penenang yang sesungguhnya.

Tapi saya masih merasa kurang, harus ada kepastian.

“Beneran kan Mbah? Kalau saya serius belajarnya, saya nanti kaya kan?”

“Iya, Ndhuk iya,”

“Kalau saya nanti kaya, saya beliin deh sapi buat Mbah, biar tambah banyak sapinya,”

Mbah saya terpingkal-pingkal.

“Itu bukan sayang Mbah namanya. Keliatannya saja bagus, aslinya kamu mau nyiksa Mbah biar lebih banyak lagi kan nyari rumputnya? Encok lah Mbah,”

“Salah siapa, tiap disuruh main kemari, Mbah bilang repot terus mau nyari rumput, bukan saya yang salah kan? Orang Mbah aja sayangnya keterlaluan sama si sapi, lebih sayang sapi daripada ke cucunya. Saya beliin sapi biar kesayangannya nambah lagi”

Kurang ajar? Ahh, saya sudah kebal dibilang tidak punya sopan santun.

Saya tidak rugi!

Siapa bilang saya rugi?

Nggak! Mbah saya bilang saya akan kaya kok nanti.

Waktu yang sudah saya habiskan selama ini, apa apa saja yang sudah saya tekuni, kenapa masih bisa disebut “dalam kerugian”?

Pukul 3, pesan itu terkirim ke ponsel saya. Tagihan tugas.

“Gimana?” 

Anda berhasil Mas, Meski belasan tahun hafal artinya, baru karena tugas anda yang ini ayat tersebut punya makna bagi saya.

“Sudah, Mas,”

“Sekarang Al-Ikhlas”

Astaga, apa lagi? Kenapa dengan Al-Ikhlas? Sejak di taman kanak-kanak bahkan saya sudah lancar bacanya. Iya iya saya tahu sedang sombong. Tapi memang begitu adanya, hati saya kotor.

Tak macam kemarin, tugas ini saya kerjakan selepas petang. 

Saya masih sibuk dengan tugas prodi yang seakan beranak pinak saat tiba-tiba nenek saya datang membentak. Ahh tidak juga, sejak sebelum saya lahir ke dunia, nada suara nenek saya memang begitu adanya, keras dan tinggi. 

“Kamu ini, mau kuliah jauh dari rumah tapi sholatnya makin ngga dijaga,”

Mbak saya yang kebetulan dengar karena sedang mencari mukena di kamar sholat nyeletuk juga akhirnya.

“Anak itu emang ngga pernah sholat Mak, liat aja, orang sekampung sibuk siap-siap sholat gerhana dia mandi aja belum,”

Cih, cerewet (suara batinku mendzolimi Mbak).

Aku kan ngga tau niatnya, ngga tau tata caranya, ngga tau juga apa yang spesial dari gerhana sampek datengnya aja disholatin.

Orang rumah pada ke masjid, saya buka lagi si mungil bersampul coklat itu. Tak pernah sholat tapi baca Alquran? 

Ya memang kenapa? Banyak kok mualaf yang masuk agama Allah karena mengkaji firmannya. Ngga salah dong, sebelum saya dekati dan ketemuan dengan kode SMS 24434, ada baiknya saya kenalan dulu lewat buku catatan Nya.

Saya yang suntuk seharian, ah tidak seharian sih, setahunan. Merasa penuh beban dan ketidakpastian. Saya yang selama ini merugi, ahh, semua menumpuk sebab kejujuran Emak dan Mbak. Beban itu datang lagi kan, menghimpit dan sesak. Kalau sudah begini mau gimana? Saya Cuma pengen ketenangan. Masalah kuliah, masalah rumah, masalah teman, masalah keuangan, segala yang oleh otak saya diberi tanda cap “masalah” itu satu persatu datang, saking banyaknya, mereka berdesakan, dan akhirnya saya terhimpit.

Tugas! Kurang ajar memang, sedang sedih begini bagaimana bisa tagihan tugas begitu saya prioritaskan? 

Saya lalu baca, surah Al-Ikhlas.

1. Katakanlah (Muhammad) ‘Dialah Allah yang Maha Esa’

Bagaimana, kenapa? Kenapa sepertinya ayat pertama surah ini menjawab kebingungan saya. Seakan dipanggil “Ayo sini padaKu, Aku hanya satu, dan hanya Aku. Kamu milikku, dan aku juga milikmu,"

Kenapa hanya, kenapa harus hanya padamu Ya Allah?

Batin saya selalu bertanya tanya.

2. Allah tempat meminta segala sesuatu.

Ahh, saya punya tempat pulang ternyata.

Tangis yang ini makin parah. Padahal saya baru baca sekali, dan itupun langsung berhenti di ayat kedua. 

Tentu saya tak bisa mendeskripsikan bagaimana euphoria yang menyatu disekitar saya.

Bahasa terlalu miskin untuk menceritakan rasa. Karena itu jangan paksa lagi saya untuk mendongeng. Tidak bisa, nikmat itu hanya pada saya yang merasakannya. Untuk membaginya, ahh saya tak punya daya.

Karena itu, dipenghujung akhir catatan ini saya katakan, ada lagi tugas baru.

“Al-Bayyinah” begitu isi pesannya.

Ahh, pukulan telak pada baris kelima. Tersedu sedu sehabis Ashar. 

Selasa, 09 Maret 2021

Lelaki Harimau, Eka Kurniawan : Ada Harimau Didalam Tubuhku

 



Andai saya jadi Margio, saya pun tidak akan tahu harus seperti apa saya mengambil sikap.

Saya kira, Margio gila. Semua orang akan berpikiran yang sama jika tidak tuntas membaca buku dahsyat ini, Lelaki Harimau, Karya Eka Kurniawan. Saya rasa, gara-gara Lelaki Harimau ini, saya akan dengan senang hati membaca buku karya Eka Kurniawan yang lain.

Novel dengan alur maju mundur ini sebenarnya bukan menceritakan sesuatu yang muluk-muluk, hanya menceritakan kehidupan para penghuni rumah 131 yang sungguh sederhana. Namun cara Eka mengemasnya, itulah yang luar biasa.

Eka Kurniawan nyatanya sangat handal memadukan segala hal yang memang tak masuk akal namun dapat diterima logika sebab mengangkat permasalahan sosial yang sepertinya telah menjadi momok menyesakkan bagi masyarakat.

Ambil saja sebagai contoh : perselingkuhan Nuraeini dengan Anwar Sadat, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh Komar bin Syueb pada istrinya, hingga penderitaan batin yang dialami Margio karena pertengkaran yang selalu mewarnai kehidupan rumah tangga orang tuanya, saya rasa Margio ini bisa digolongkan sebagai anak yang mengalami Broken Home.

Margio hanyalah bocah biasa, sederhana dan tak banyak tingkah. Sayang, bocah tak bersalah ini dibesarkan ditengah keluarga yang kurang harmonis bahkan cenderung toxic bagi anak sepenurut Margio.

Anehnya, saya pun cukup bingung ingin menyalahkan siapa. Di awal, saya begitu ketar ketir dengan kegilaan yang dilakukan Margio, menggigit leher manusia lain hingga putus urat bahkan koyak dagingnya bukanlah hal yang sepatutnya dilakukan manusia normal. Bahkan psikopat pun butuh sekedar benda tajam seperti golok atau pisau untuk membunuh targetnya. Tetapi Margio? Hanya cukup dengan deretan giginya saja mampu membuat Anwar Sadat tumbang meregang nyawa.

Namun, jika ditilik lagi dari segala masa yang sudah dilewati Margio, mungkin wajar bagi Margio hilang kewarasan. Margio, hanya  anak manis yang menginginkan senyum riang diwajah ibunya. Sayangnya, bukan binar kebahagiaan yang didapat tetapi justru tubuh sang ibu harus sering remuk dan penuh memar akibat hantaman ayahnya, Komar bin Syueb.

Ya sudah, berarti salahkan saja Komar bin Syueb!

Eits, tidak semudah itu. Mungkin saya membenci segala tingkah kasar Komar yang memang ringan tangan memukul istri dan anaknya, namun diwaktu yang bersamaan, akan timbul rasa kasihan ketika menyadari Komar hanyalah laki-laki biasa yang menginginkan sambutan hangat sewaktu pulang kerja sebagai bayaran pelepas penat dari istrinya. Namun yang didapatnya  setelah bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga dengan Nuraeni, hanyalah wajah judes dan omongan pedas sang istri.

Oh, berarti salah Nuraeni, dia istri yang tidak berbakti!

Begini saja, betahkah perempuan hidup dengan laki-laki yang tak dicintainya? Menderita dalam kemiskinan dan hidup seadanya? Bahkan cincin kawin pun terpaksa dijual demi memenuhi kebutuhan. Nuraeni, hanyalah perempuan lugu yang baru menemukan cintanya di usia 30 tahun, sayangnya cinta itu bukan untuk suami sahnya, melainkan untuk Anwar Sadat, laki-laki hidung belang yang punya hobby mencicipi perempuan. Kelembutan Anwar Sadat dalam melayani perempuan tak didapat Nuraeni dari suami kasarnya, mungkin sebab itulah Nuraeni sudi berpaling.

Menengok masa lalu, Nuraeni awalnya tidak benar-benar membenci suaminya, Komar bin Syueb. Ia hanyalah gadis lugu yang berharap dikirimi surat cinta dari kekasihnya yang kerja jauh ke kota. Sungguh sayang, penantian Nuraeni tak dibalas dengan apik oleh Komar, setelah menunggu kiriman surat selama setahun, Nuraeni mulai jengah, rasa suka pada Komar pun hilang menguap. Dan gadis itu tak tega pada orang tua dan mertuanya untuk menolak dikawinkan dengan Komar. Sejak itu, neraka rumah tangganya dimulai.

Salah Komar berarti sedari awal!

Sayangnya, perlu berpikir dua kali untuk lagi-lagi menyalahkan Komar. Apa hanya karena tidak mengirim surat disebabkan kebingungan hendak apa ditulis harus berbuntut panjang dimasa depan dengan hamilnya si istri akibat benih orang lain? Haruskah Komar berlapang dada menerima bayi yang dilahirkan sang istri dari hasil perselingkuhannya dengan pria lain?

Terlepas segala drama yang diciptakan oleh orang tuanya, rasa iba mungkin akan lebih tertujukan untuk Margio. Racun-racun pertengkaran orang tua, tingkah kasar dan suka main tangan Komar pada Nuraeni, perselingkuhan Nuraeni, semua itu berujung pada segala penderitaan yang menikam dada Margio. Dendam kesumat yang dipendamnya selama bertahun-tahunlah yang saya rasa membuat Margio hilang kewarasan.

“Ada Harimau didalam tubuhku” saya rasa bukan omong kosong belaka. Harimau itu benar benar ada. Hidup ganas didalam diri Margio dan terlahir dari segala luka yang ditorehkan oleh problema yang memberinya penderitaan sejak masa kanak-kanaknya.

Dan Harimau putih itu, keluar, menyerang sebagai bentuk keputusasaan Margio ketika satu satunya sumber keriangan yang menjadi alasan senyum diwajah sang Ibu, menolak untuk memberi kebahagiaan. Hm, anak malang itu hanya terlampau mencintai sang Ibu, hingga hilang rasa waras.

Sabtu, 16 Januari 2021

Resensi Buku 86, Okky Madasari

 


Judul : 86

Penulis : Okky Madasari

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit : 2011

Tentang Penulis :

Okky Madasari lahir di Magetan, Jawa Timur pada tanggal 30 Oktober 1984. Ia merupakan lulusan Universitas Gadjah Mada jurusan Hubungan Internasional. Ia bekerja sebagai wartawan dan mendalami dunia penulisan. Dari pekerjaannya di dunia jurnalistik inilah ia banyak mengetahui praktik praktik kecurangan hukum. Secuil dari pengetahuannya itu ia tuliskan pada novel karyanya yakni 86 yang banyak memberikan gambaran pada pembaca tentang bagaimana sistem sistem tak adil itu bekerja di Indonesia seolah telah menjadi kebiasaan. Pembaca akan menemukan wajah lain dari Indonesia (utamanya Ibukota karena mengambil latar belakang kota Jakarta) lewat buku ini.

Sinopsis :

Arimbi merupakan seorang juru tulis yang bekerja di kantor pengadilan negeri daerah Jakarta. Setelah 4 tahun bekerja dengan normal, kepolosan gadis itu mulai berubah setelah mendapatkan ucapan terimakasih berupa AC baru untuk kontrakannya dari seorang clien. sedikit keraguan dalam hati apakah yang ia lakukan ini hal yang benar? Ia tanyakan itu pada Anisa. Anisa bilang itu hal wajar, hampir semua orang di pengadilan menerimanya. Temannya itu bilang, dulu ia menerima kompor gas, namun kini ia hanya mau mentahnya saja karena semua ia sudah punya. Kini Arimbi tahu bagaimana rekan kerjanya itu begitu gampang membeli barang ini itu, berlibur kesana kemari padahal yang ia tahu gaji Anisa pun tak beda jauh dengannya. Jawabannya hanya satu, 86!. Sama sama tau, sama sama untung.

Kepiawaian Arimbi menjadi pemain kian didukung berkat hadirnya Ananta, pria yang mengisi hatinya, suaminya. Hidup dengan Ananta membuat Arimbi mulai tamak. Ia ingin membahagiakan Ananta dengan membelikan semua yang pria itu butuhkan selain tentunya juga ia kirimkan untuk orangtuanya di kampung. Dan dari sinilah malapetaka itu dimulai.

Ulasan :

Novel hebat ini memadukan banyak masalah masalah sosial yang terjadi di Indonesia dengan dibungkus apik dalam perjalanan hidup Arimbi. Penulis begitu andal membawakan topik tentang KKN (korupsi, kolusi, dan napotisme) yang prakteknya telah umum terjadi di Indonesia. Dari cerita Arimbi, kita akan dapati bagaimana dengan mudahnya para orang orang atas itu menerima uang sogokan. Begitu konyol ketika pengadaan sidang di pengadilan hanya sebagai formalitas karena yang sebenarnya keputusan sidang sudah diketahui oleh mereka mereka yang siap mengeluarkan banyak uang. Hukum adalah kepunyaan mereka yang berduit.

Pembahasan tentang nepotisme juga menjadi topik menarik disini. Ketika ia yang bekerja dapat masuk secara mudah dengan uang, maka tidak mengherankan jika dari dalam mereka pun bekerja dengan, untuk dan dari uang.

Dan yang cukup menyesakkan adalah tentang keberadaan penjara. Bukan, bukan sebagai tempat untuk menghukum mereka mereka yang bersalah. Sisi gelap kurungan bagi mereka yang dibilang banyak orang sebagai “penjahat”. Pada kasus Arimbi, penjara kiranya justru dijadikan ladang mencari uang, pabrik dan pusat pengedaran barang haram. Mereka yang memproduksi sabu dari dalam sel marasa lebih aman hanya dengan memberi sogokan untuk para penjaga. Mereka hanya perlu lebih berhati hati saat barang itu dikirimkan keluar.

Penjara wanita, hanya diisi oleh mereka mereka yang berjenis kelamin perempuan. Tentu pada diri setiap individu mempunyai kebutuhan biologis. Lalu bagaimana mereka memenuhi kebutuhannya jika dalam kurungan itu hanya ditinggali mereka mereka yang sejenis? Tentu praktek LGBT menjadi jawaban. Mereka yang merasa sama sama terpuaskan mungkin tak lagi memikirkan bahwa hal yang mereka lakukan adalah penyimpangan, hal yang dibenci masyarakat. Tapi siapa peduli? Yang penting kebutuhan mereka terpenuhi.

Hal menarik lain yang juga dibahas dalam novel ini adalah tentang pungutan liar (pungli) dan. pemutusan hubungan kerja (PHK). Ada begitu banyak hal yang dapat kita pelajari dari buku ini. Hal hal yang kiranya akan menyadarkan dan lebih mengenalkan kita wajah dari Negara tercinta ini, sisi kusam Indonesia.

Kelebihan :

Cover dengan gambar apik dan judul singkat yang menarik tentu membuat para pembaca penasaran.

Alur cerita yang runut dan realistis kiranya akan membuat imajinasi pembaca seolah dapat menyaksikan segalanya secara nyata.

Kalimat yang jelas tanpa berbelit juga memudahkan pembaca dalam memahami isi cerita.

Kekurangan :

Entah mengapa pada bagian awal buku ini tidak terlalu menarik, namun seiring habisnya lembar demi lembar akan membuat pembaca ketagihan.

Akhir yang cukup membuat pembaca gemas karena ketika pembaca masih diliputi perasaan penasaran akan bagaimana endingnya (tentu berharap Arimbi bahagia) tiba tiba saja penulis mengakhiri cerita dengan akhir yang “memang seharusnya seperti itu”.

 


Resensi Buku Gadis Pantai, Pramoedya Ananta Toer

 


Judul : Gadis Pantai

Penulis : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit : Hasta Mitra

Tahun Terbit : 2000

 

Tentang Penulis :

Novel hebat karya Pramoedya Ananta Toer bukan hanya Gadis Pantai. Beliau menulis banyak karya karya lain yang lahir dari kepiawaian beliau dalam mengekspresikan jiwa seninya, yaitu lewat sastra. Beliau merupakan penulis hebat dari Indonesia yang dulu, meski harus mendekam dalam pengasingan, tak pernah melewatkan waktu dan kesempatan yang ada untuk menuangkan segala buah pikiran beliau dalam bentuk tulisan. Meski karya karya beliau dibakar, beliau tak putus akal dan semangat untuk terus mengabadikan diri dengan menulis, menulis, dan menulis agar kelak pada semua generasi, tulisan tulisan itulah yang berbicara, bercerita.

Sinopsis :

Gadis Pantai, kini si gadis ayu itu harus berpisah dari Emak Bapaknya. Meninggalkan rumah, sanak saudara, para tetangga, meninggalkan Kampung Nelayannya, juga meninggalkan laut yang selama ini menghidupinya. Ia telah diambil istri oleh Bendoro, kini semua orang yang ada dirumah itu memanggilnya Mas Nganten, Orang kampung pun jadi memanggilnya Bendoro Putri. Bapak bilang ia beruntung karena berjodoh dengan orang yang pandai dan taat agama, juga yang sangat baik nasabnya. Namun si Gadis Pantai tak senang, ia tak sebebas dulu bermain pasir dengan para bocah seusianya, ia tak bisa lagi menumbuk udang kering disamping rumah untuk membantu Emak, tak dapat lagi membantu Bapak membawa hasil tangkapan ikan. Kini yang harus ia lakukan hanya satu hal, mengabdi pada bendoro. Harus ia lakukan semua yang bendoro perintahkan dan harus ia tinggalkan semua larangan yang tak disukai bendoro. Ia harus bikin berdoro senang dan makin menyayanginya. Temannya hanya simbok, bujang yang hidup sebatang kara, ditinggal mati oleh suami suaminya dan anak pun simbok tak punya. Hanya dongengan simbok yang jadi pengusir sepinya.

Gadis Pantai tak bahagia meski kini ia punya segala yang bagus bagus. Bahkan Bendoro membelikannya perhiasan dan mutiara. Bendoro menggaji guru ngaji untuknya, ia juga belajar cara membatik. Namun Gadis Pantai tak suka ia menjadi begitu berbeda dari pandang semua penduduk desa, semua orang memuliakannya, menganggap derajatnya lebih tinggi. Padahal si Gadis Pantai juga bagian dari mereka, juga anak kandung Pantai Nelayan. Inilah kisah awal kehidupan si Gadis Pantai,

Ulasan :

Gadis pantai sebenarnya juga mengajarkan pada pembaca bagaimana sistem patriarki bekerja pada zaman itu, juga mungkin dapat direlevansi pada masa kini. Novel ini seolah menjadi contoh nyata bagaimana dalam lingkup keluarga maupun lingkungan sosial yang luas laki laki ditempatkan sebagai pemegang kekuasaan utama dan pendominasian peran dari hampir semua bidang. Laki laki dapat memerintah, melakukan segala hal yang mereka suka. Sedang yang perempuan, harus tunduk dan ikut apa kata lakinya.

Contoh nyata dari sistem feodalisme juga tergambar dalam novel ini. bagaimana penggambaran kekuasaan begitu melekat pada diri bangsawan. Penekanan untuk menghormati mereka mereka yang berasal dari kalangan atas dan memiliki nasab baik setidaknya akan membuat kita merasa perbedaan strata itu begitu kolot dan menjengkelkan.

Tentu masih ada banyak hal lagi yang dapat dipelajari dari buku ini, seperti pada perbedaan pola hubungan laki laki dan perempuan yang sudah menikah antara mereka yang tinggal di kota dan mereka yang tinggal di desa. Perbedaan lingkungan sosial, pendidikan, dan interaksi antar individu kota dan desa juga dapat diamati dan dipelajari dalam buku ini.

Dalam buku ini juga menyinggung tentang pernikahan dini, bagaimana si gadis pantai dipaksa menikah meski saat itu usianya belum cukup bahkan belum mengalami menstruasi. Tak sampai disitu, penulis pun juga menjabarkan tentang bagaimana anggapan masyarakat strata atas bahwa pernikahan yang sebenarnya adalah ketika kedua mempelai sama atau setara, bagi para bendoro yang memiliki istri tidak sederajat dengannya atau dalam kasus si Gadis Pantai ini ia hanya seorang gadis kampung dan tidak berpendidikan, maka si bendoro masih dianggap perjaka.

Hal lain yang juga disinggung oleh penulis adalah tentang hak asuh anak, pada bagian akhir, pembaca akan ditunjukkan bagaimana pahitnya ketidakadilan yang menimpa si gadis pantai. Masalah hak asuh anak ini tentu ada keterkaitannya dan masih relevan dengan masa sekarang.

Kelebihan :

Saya kira dari beberapa buku karya Pramoedya Ananta Toer yang sudah say abaca, buku Gadis Pantai ini yang paling ringan pola kalimatnya sehingga mudah dipahami dan digambarkan dalam imajinasi.

Buku ini juga cocok dibaca oleh semua kalangan karena pembahasannya yang ringan dan tidak mengandung konten yang sensitif.

Kekurangan :

            Endingnya yang seperti menggantung (karena dua jilid seri setelahnya hilang) kiranya membuat pembaca kecewa tidak dapat mengetahui bagaimana kisah akhir kehidupan si Gadis Pantai

 


Rabu, 06 Januari 2021

Resensi Buku Rumah Kaca, Tetralogi Buru Jilid 4

 

Resensi Buku Rumah Kaca




Judul : Rumah Kaca

Penulis : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit : Lentera Dipantara

Tahun Terbit : 2011

 

Tentang Penulis :

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah pada tahun 1925. Beliau merupakan penulis hebat asal Indonesia yang buah karyanya tak perlu diragukan lagi. Beliau menulis banyak karya hebat salah satunya adalah Tetralogi Buru yang terdiri atas 4 buku yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan terakhir Rumah Kaca yang sedikit banyak memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang bagaimana sejarah dari bangsa Indonesia ini. Dan karena tulisan tulisannya yang hebat inilah bukan tidak mungkin beliau berhasil menyabet banyak penghargaan penghargaan hebat untuk karyanya.

Sinopsis :

Arus gelombang zaman yang kian tak terkontrol kiranya membuat Gubernur Jendral Indeburg gelisah. Apalagi sejak Revolusi Tiongkok terjadi, Gubernur Jendral dibuat pusing dengan semangat nasionalisme yang timbul di kawasan Asia. Dan hal itulah yang agaknya membuat Gubernur semakin ketar ketir dengan berdirinya organisasi pribumi yang dipimpin oleh  seoarang pribumi terpelajar, siapalagi jika bukan Raden Mas Minke yang dengan semangatnya memiliki cita cita untuk mempersatukan Hindia. Sepak terjang Minke dalam dunia kepenulisan cukup membuat Gubernur Jendral Idenburg gelisah, apalagi dengan tajuk tajuk dari surat kabar milik Minke yang memang digandrungi oleh hampir semua masyarakat itu sedikit demi sedikit mulai menyadarkan pada bangsa Hindia apa itu nasionalisme.

Barang tentu karena itulah, Gubernur Jendral mengutus Jacques Pangemanann, seorang komisaris polisi yang sebelumnya hanya bekerja dengan kertas dan pena kini harus turun tangan langsung terjun ke lapangan untuk memadamkan semangat gerakan kebangkitan nasionalisme pribumi. Koran dan majalah adalah hal vital dimana komunikasi antar pribumi terjalin lewat media cetak tersebut. Lewat bacaan para pribumi dapat mengeluhkan segala macam ketidakadilan yang terjadi untuk kemudian masalah masalah tersebut tidak lagi menjadi permasalahan pribadi melainkan persoalan umum. Hal inilah yang tentu meresahkan para Gubermen. Karena itu, diutuslah Jacques Pangemanann untuk meredakan kekhawatiran para Gubermen juga Gubernur Jendral. Dan tentu sasaran utama yang pertama adalah Minke, yang merupakan juru bicara bangsanya lewat surat kabar miliknya, “Medan”.

Novel ini juga merupakan babak akhir dari cerita kehidupan Minke. Bagaimana keadaan yang diceritakan oleh penulis tentang akhir hidup orang hebat seperti Raden Mas Minke cukup membuat pembaca ikut merasa miris. Segala hal yang dulu dipunya dan ada dalam genggamannya satu persatu hilang. Ia tak lagi punya apapun. Namun hal yang menjadi pembelajaran bersama adalah bagaimana rasa cinta Minke terhadap bangsanya begitu membuatnya royal melakukan dan mempertaruhkan apapun untuk memajukan bangsanya sendiri, bangsa yang ia banggakan dan ia cintai.

 

Ulasan :

Rumah Kaca merupakan bagian terakhir dari Tetralogi Pulau Buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer saat di penjara. Berbeda dari 3 jilid sebelumnya yang menempatkan Minke sebagai tokoh utamanya, pada buku kali ini penulis menggunakan sudut pandang dari seorang Komesaris polisi pribumi bernama Pangemanann. Hal inilah yang kemudian membuat buku ini menarik dimana pergolakan batin dari seorang Pangemanann yang harus memilih antara nuraninya yang begitu mengagumi sosok pribumi terpelajar yang hebat macam Minke atau logika yang mengharuskannya mengabdi sepenuh hati pada Gubernur Jendral yang telah menggajinya. Mencukupi kebutuhan keluarganya, istri dan empat orang anaknya yang bahkan dua diantaranya kini tengah mengenyam pendidikan diluar negeri. Masa depan menjanjikan ada didepan mata selama ia masih mampu membiayai kebutuhan pendidikan anaknya. Dan mau tidak mau, untuk tetap bisa mendapat gaji tersebut, ia harus mematuhi segala yang diperintahkan oleh Gubernur Jendral.

Buku ini sepatutrnya menjadi bahan bacaan untuk para generasi muda agar lebih mengenal seperti apa bangsanya juga supaya mereka lebih menghormati dan mau mencintai bangsa sendiri. Dari Minke para generasi seharusnya belajar bagaimana cara berjuang untuk memajukan bangsa ini meski itu dimulai dari hal yang sederhana, menulis.

Kelebihan :

Tentu seperti karya karyanya yang sebelumnya, Pak Pram menempatkan banyak pembelajaran yang dapat dipetik dari setiap kejadian yang dialami oleh tokoh tokohnya.

Detail kejadian yang tergambar secara rinci membuat pembacanya akan larut dan terbawa untuk ikut merasakan dan belajar bagaimana pahit manis hal hal yang terjadi dalam kehidupan para tokoh.

Selain itu, pemahaman penulis tentang dunia luar tertuang pada bagaimana penulis dapat menceritakan secara detail bagaimana perkembangan dari Negara Negara lain seperti salah satau contohnya adalah revolusi Tiongkok.

Kekurangan :

Mungkin pada beberapa kalimat yang memang susah dipahami maknanya karena terkendala diksi dan penyajian pola katanya.

 







Burung Simbah

Selepas sembahyang magrib, ibuk bapak selalu menyempatkan diri untuk mengobrol. Kadang di teras, di ruang tamu atau ketika duduk lesehan di ...