Jumat, 18 Desember 2020

Pemilu : Bukan Lagi Tentang Memilih Pemimpin

 

gambar bukan milik saya 

Pilkada serentak beberapa hari yang lalu adalah momen pertama bagiku untuk ikut serta melakukan pencoblosan. Beberapa kali bertanya pada kakak dan ibu tentang bagaimana teknis untuk mencoblos bupati yang akan kupilih, meski tidak ada pilihan karena hanya terdapat satu calon untuk mewakili kabupaten kami. Cukup kecewa sebenarnya, dalam hati aku terus menggerutu “Apa yang mau dipilih coba? Ngga asik banget pilihannya Cuma ada satu”, tapi aku tetap berusaha berangkat dengan hati yang senang.

Namun, semangatku itu lenyap begitu medengar obrolan ayah dengan tetangga depan rumah kami.

Halaaah, pemilu bumbung kosong yo jelas menang lah yaa.. awakdewe ki isone muk manut, nuruti kon melu yo melu.. Ben ketok lek adewe ki warga Negara yang baik”. Celetuk Ayah yang asik ngobrol dengan Lik Rak.

Opo to, Yit,. Awakdewe kan asline muk mbalekne undangan tok”.

Komentar Ayah dan Lik Rak agaknya sedikit mengusik hatiku. Mengapa pemilu hanya difungsikan untuk mengembalikan undangan?. Apa maksutnya? Lalu teringat padaku tentang mekanisme pencoblosan. Sebelum menerima kertas suara, aku terlebih dahulu disuruh memperlihatkan undanganku. Dan undangan itu diambil. Itu agaknya yang membuat Lik Rak bilang bahwa pemilu sebenarnya hanyalah mengembalikan undangan.

Padahal jika ditilik lagi, pemilu memiliki arti penting dalam memenuhi sila keempat Pancasila yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Perwakilan, artinya dimana kita turut berpartisipasi dengan memilih sendiri pemimpin atau juga wakil rakyat  yang dikehendaki. Siapa yang kita percaya sebagai wakil kita, siapa yang mampu mengemban amanah dari kita untuk menjadi harapan masyarakat. Lalu dari kacamata penduduk desa, kenapa pemilu seakan hanya dilakukan sebagai formalitas dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai warga Negara?. Sepertinya salah satu fungsi pemilu yaitu sebagai sarana partisipasi politik masyarakat, tidak terlaksana dengan baik.

Saat kutanya “Ibuk, kalo aku ngga ikut nyoblos gimana?”.

“Ya nggak papa, mungkin kamu Cuma diinget aja sama panitianya sebagai warga tak patuh yang tidak ikut pemilu”

Oh, jadi karena takut pada penitianya ya?. Apa sih kuasa panitia?.

Sejak kita duduk dibangku sekolah dasar, pengenalan azas untuk pemilu sudah sering masuk dalam pembahasan. Dalam soal uraian ulangan, mungkin kita sering dapati pertanyaan seperti “Sebutkan azas azas dalam pemilu!”. Dan barangkali karena sebelumnya sudah diulang ulang oleh bapak ibu guru, kita hanya perlu mengembangkan apa saja yang ada dalam kata “luberjudil”; langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Ini sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

Langsung berarti kita sebagai si “penerima undangan” harus datang sendiri ke TPS (tempat pemungutan suara). Artinya tanpa perantara.

Umum berarti berlaku untuk semua kalangan yang sudah cukup usianya dan sudah memiliki KTP.

Dan bebas itu berarti siapapun yang kita pilih tidak menjadi masalah. Kita bebas memilih siapapun.

Rahasia artinya tidak diketahui oleh siapapun siapa yang kita pilih kan?.

Jujur artinya bertindak sesuai denagn peraturan yang berlaku, tidak ada kebohongan, tidak ada kecurangan.

Dan terakhir adalah adil. Yaitu mendapatkan perlakuan yang sama rata.

Namun, apa sih gunanya diadakan pemilu jika rakyat sudah pasrah siapa saja yang bakal jadi pemenangnya?. Tidak ada semangat dalam diri mereka untuk menentukan dan percaya pada pilihannya. Yang ada hanya usaha menggugurkan kewajiban sebagai warga Negara yang baik. Ya, itu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Burung Simbah

Selepas sembahyang magrib, ibuk bapak selalu menyempatkan diri untuk mengobrol. Kadang di teras, di ruang tamu atau ketika duduk lesehan di ...