Pilkada
serentak beberapa hari yang lalu adalah momen pertama bagiku untuk ikut serta
melakukan pencoblosan. Beberapa kali bertanya pada kakak dan ibu tentang
bagaimana teknis untuk mencoblos bupati yang akan kupilih, meski tidak ada
pilihan karena hanya terdapat satu calon untuk mewakili kabupaten kami. Cukup kecewa
sebenarnya, dalam hati aku terus menggerutu “Apa yang mau dipilih coba? Ngga
asik banget pilihannya Cuma ada satu”, tapi aku tetap berusaha berangkat dengan
hati yang senang.
Namun, semangatku itu lenyap
begitu medengar obrolan ayah dengan tetangga depan rumah kami.
“Halaaah, pemilu bumbung
kosong yo jelas menang lah yaa.. awakdewe ki isone muk manut, nuruti kon melu
yo melu.. Ben ketok lek adewe ki warga Negara yang baik”. Celetuk Ayah yang
asik ngobrol dengan Lik Rak.
“Opo to, Yit,. Awakdewe kan
asline muk mbalekne undangan tok”.
Komentar Ayah
dan Lik Rak agaknya sedikit mengusik hatiku. Mengapa pemilu hanya difungsikan
untuk mengembalikan undangan?. Apa maksutnya? Lalu teringat padaku tentang
mekanisme pencoblosan. Sebelum menerima kertas suara, aku terlebih dahulu
disuruh memperlihatkan undanganku. Dan undangan itu diambil. Itu agaknya yang
membuat Lik Rak bilang bahwa pemilu sebenarnya hanyalah mengembalikan undangan.
Padahal jika
ditilik lagi, pemilu memiliki arti penting dalam memenuhi sila keempat
Pancasila yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan”. Perwakilan, artinya dimana kita turut
berpartisipasi dengan memilih sendiri pemimpin atau juga wakil rakyat yang dikehendaki. Siapa yang kita percaya
sebagai wakil kita, siapa yang mampu mengemban amanah dari kita untuk menjadi
harapan masyarakat. Lalu dari kacamata penduduk desa, kenapa pemilu seakan
hanya dilakukan sebagai formalitas dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai
warga Negara?. Sepertinya salah satu fungsi pemilu yaitu sebagai sarana
partisipasi politik masyarakat, tidak terlaksana dengan baik.
Saat kutanya “Ibuk, kalo aku ngga
ikut nyoblos gimana?”.
“Ya nggak papa, mungkin kamu Cuma
diinget aja sama panitianya sebagai warga tak patuh yang tidak ikut pemilu”
Oh, jadi karena takut pada
penitianya ya?. Apa sih kuasa panitia?.
Sejak kita
duduk dibangku sekolah dasar, pengenalan azas untuk pemilu sudah sering masuk
dalam pembahasan. Dalam soal uraian ulangan, mungkin kita sering dapati
pertanyaan seperti “Sebutkan azas azas dalam pemilu!”. Dan barangkali karena
sebelumnya sudah diulang ulang oleh bapak ibu guru, kita hanya perlu
mengembangkan apa saja yang ada dalam kata “luberjudil”; langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil. Ini sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di
Indonesia.
Langsung berarti kita sebagai si
“penerima undangan” harus datang sendiri ke TPS (tempat pemungutan suara).
Artinya tanpa perantara.
Umum berarti berlaku untuk semua
kalangan yang sudah cukup usianya dan sudah memiliki KTP.
Dan bebas itu berarti siapapun
yang kita pilih tidak menjadi masalah. Kita bebas memilih siapapun.
Rahasia artinya tidak diketahui
oleh siapapun siapa yang kita pilih kan?.
Jujur artinya bertindak sesuai
denagn peraturan yang berlaku, tidak ada kebohongan, tidak ada kecurangan.
Dan terakhir adalah adil. Yaitu
mendapatkan perlakuan yang sama rata.
Namun, apa sih
gunanya diadakan pemilu jika rakyat sudah pasrah siapa saja yang bakal jadi
pemenangnya?. Tidak ada semangat dalam diri mereka untuk menentukan dan percaya
pada pilihannya. Yang ada hanya usaha menggugurkan kewajiban sebagai warga
Negara yang baik. Ya, itu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar