Jumat, 18 Desember 2020

Resensi Buku Anak Semua Bangsa, Tetralogi Buru Jilid 2

 

Resensi Buku Anak Semua Bangsa

 

 

Judul : Anak Semua Bangsa

Penulis : Pramodya Ananta Toer

Penerbit : Hasta Mitra

Tahun Terbit : 2002 (Cetakan ke 6)

 

Tentang Penulis :

Telah kita ketahui bersama bahwa salahsatu penulis hebat dari Indonesia adalah beliau, Pramoedya Ananta Toer. Dari karyanya, kita akan sama sama tahu betapa beliau adalah seorang pengamat yang hebat. Analisis analisis cerdasnya tertuang dalam bagaimana penggambaran segala tingkah polah tokoh cerita dalam karyanya juga bagaimana cara beliau mendeskripsikan peristiwa peristiwa hebat dengan jalan cerita yang apik. Ada banyak hal yang dapat kita pelajari pada diri beliau lewat karya karyanya, salah satunya adalah “Anak Semua Bangsa” yang merupakan jilid dua dari Tetralogi Buru dengan karya pertama beliau, Bumi Manusia. Kita akan diajak lebih berkenalan lagi dengan sosok Minke yang memang menjadi tokoh utama pada buku sebelumnya, tak lagi tentang mengenal orangnya, pada Anak Semua Bangsa kali ini pembaca akan diajak menyelami pikiran Minke, juga segala hal yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

 

Sinopsis :

Minke dibuat kesal dengan perkataan dan saran dari sahabatnya, Jean Marais. Pria itu menginginkan Minke menulis dalam bahasa Melayu. Amarah Minke makin menjadi jadi saat Jean mengatakan bahwa Minke tak kenal dengan bangsanya sendiri. Pendapat Jean juga didukung  oleh Kommer, ia bilang ada banyak hal yang tak Minke ketahui tentang bangsanya sendiri, padahal Kommer bukan seorang pribumi, jelas Minke tersinggung. Dan ia dengan yakin mengatakan pada Minke bahwa ia lebih mengenal bangsa ini daripada Minke sendiri.

Kabar telegram dari Panji Darman agaknya membuat Minke dan Nyai Ontosoroh makin bersedih. Hari hari yang dilalui tak lagi seceria dulu, saat Annelies masih bersama disamping mereka. Karena itu, Minke menurut saja saat mertuanya itu mengajaknya ke Sidoarjo, ke rumah Paimin, satu satunya saudara Nyai yang kini bekerja sebagai juru bayar di salah satu pabrik gula yang berlokasi di Sidoarjo. Tujuan awalnya hanya ingin berlibur, membebaskan diri sejenak dari penat. Namun siapa sangka, perjalanan itulah yang membuatnya bertemu dengan orang macam Surati dan keluarga Trunodongso.

Dan dari kota itulah, Minke memulai perjalanannya untuk lebih mengenal bangsanya sendiri, membuktikan pada Jean dan Kommer bahwa keduanya salah menilai Minke sebagai pribumi yang tak kenal dengan bangsanya sendiri. Pertemuan pertemuan Minke dengan orang orang yang kelak akan menyadarkan Minke bahwa kiranya selama ini, ia terlalu berbangga diri sebagai seorang lulusan HBS, dan bagaimana pola pikir ala Eropa yang selama ini dipelajarinya, tidak selalu tepat.

 

Ulasan :

Jika pada buku yang sebelumnya (Tetralogi Buru pertama : Bumi Manusia) fokus penulis adalah pada kehidupan pribadi masing masing tokoh, maka lain halnya dengan jilid kedua ini, Anak Semua Bangsa yang lebih mengarahkan cerita pada bagaimana lingkungan di sekitar tokoh utama (Minke). Penulis menjabarkan tentang segala hal yang sebelumnya belum terjamah dan tak mampir pada pikiran Minke. Kadang juga dibuat gemas bagaimana keras kepalanya si tokoh utama terhadap nasehat sahabatnya.

Alasan Pramoedya menulis ini kiranya sebagai lanjutan dari novel sebelumnya. Novel yang ditulisnya ketika di pengasingan ini memiliki banyak sekali pesan moral, utamanya pada generasi muda dimasa mendatang. Nasionalisme adalah salahsatu hal yang ditanamkan beliau dalam karyanya ini. Mencintai bangsa sendiri itu penting.

 

Keunggulan :

Hal yang sangat menarik disini adalah bagaimana cara penulis menggambarkan ceritanya tanpa mendikte pembaca. Pembaca diajak menyelami berbagai permasalahan dengan pemikiran dari sudut pandang masing masing. Pembaca bebas mengekspresikan cerita sesuai pikiran mereka, tanpa harus repot repot mengikuti pola pikir penulis.

Isi dari buku ini juga mengandung banyak pelajaran. Pembaca akan temukan banyak hal dari masalalu yang kiranya dapat dijadikan pelajaran untuk masa kini. Juga akan diajak berekreasi pada masa masa lampau, dimana sejarah tercipta. Kita akan ketahui bagaimana peristiwa sejarah dari sudut pandang masyarakat biasa.

 

Kekurangan :

Tidak banyak kekurangan yang ada pada buku ini, jikalaupun ada itu mungkin hanya dari beberapa kata yang memang sulit ditafsirkan maknanya oleh pembaca awam. Beberapa kata baru yang tidak ada di catatan kaki. Hanya itu saja, selebihnya buku ini menjadi teman seru menghabiskan waktu, mengajak pembaca berselancar dalam alam pikir namun tak juga dengan topik berat yang akan membuat bingung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Burung Simbah

Selepas sembahyang magrib, ibuk bapak selalu menyempatkan diri untuk mengobrol. Kadang di teras, di ruang tamu atau ketika duduk lesehan di ...