“No one is born ugly, We’re just born in a judgemental
society” Kim
Namjoon, BTS.
Tentang Bully. Kita yakin, tidak ada yang setuju bahwa
bullying itu baik. Membully berarti menindas. Melakukan hal hal tidak baik kepada
oranglain. Baik melalui ucapan maupun perbuatan. Beberapa pembully biasanya
menggunakan mulutnya untuk mengata ngatai si korban, menghina penampilan atau
bentuk badan, bisa juga menjelek jelekkan status atau dari mana mereka berasal.
Bisa juga menghina keluarganya. Ada juga pembullyan yang dilakukan secara tidak
langsung (cyberbullying). Dan pada tahap yang parah, pembullyan bisa sampai
melukai fisik.
Dari sebuah channel youtube, saya mendengar cerita dari
seorang yang menjadi korban bully selama masa SMP dan SMAnya. Awal masalahnya
cukup simple, hanya warna kulit. Seburuk itukah memiliki kulit yang tidak
putih? Dia pun tidak pernah meminta dilahirkan dengan kulit yang berbeda dengan
orang orang disekitarnya, apa kita berhak memilih ingin dilahirkan bagaimana?
Jawabannya tidak.
Dan yang membuat saya cukup prihatin adalah tentang bagaimana
kepasrahan para guru saat si korban ini menceritakan masalahnya. Kita tahu,
menceritakan pada oranglain sesuatu yang membuat kita tidak nyaman itu bukan
masalah gampang. Dan saat si korban ini sudah berusaha mengumpulkan
keberaniannya dan bercerita, tanggapan yang didapatnya dari mayoritas guru
adalah konseling dan kata kata “Yang sabar ya”.
Mungkin bisa menunjukkan kesimpatian, tapi apa dengan itu saja bisa
menyelesaikan masalah?. Si korban ini bercerita agar dibantu, untuk bisa
mendapat solusi.
Beberapa hal yang terfikirkan olehku tentang apa sebenarnya
alasan dari si pembully ini sehingga
melakukan hal hal yang menyakiti oranglain. Dalam kasus ini, coba kita fokuskan
objeknya pada siswa. Mungkin ingin terlihat hebat oleh siswa siswi lain?
Membuktikan bahwa ia kuat dan punya kuasa? Sehingga kemudian ditakuti?. Sebagai
pengalihan untuk meluapkan amarah? Atau iri pada si korban dan merasa terancam
sehingga memilih membuat si korban ini takut?.
Lalu pertanyaan saya, apa mereka (si pembully) tidak merasa
bersalah telah menyakiti oranglain? Tidakkah ada rasa menyesal setelah membuat
oranglain membenci hidupnya sendiri? Tidak taukah mereka dampak yang
ditimbulkan pada si korban?. Mungkin mereka tidak tau bagaimana tersiksanya
menjadi menyedihkan.
Lalu, apa solusi untuk korban bully ini?
Bercerita kepada orangtua? Untuk beberapa orang mungkin cara
ini bukan cara yang tepat. Terkadang mereka takut membuat orangtua lebih bersedih
dan merasa bersalah bahwa anaknya tidak hidup dengan nyaman. Pasti orangtua
akan berfikiran bahwa mereka telah gagal.
Kenapa tidak lapor kepada guru saja? Jika membaca kembali
tulisan diatas dan kita menemukan kasus yang sama bahwa meski kita sudah mau
dan berani bercerita namun hanya mendapat kata kata “Yang sabar yaa” si korban
bisa apa? Apa masalah selesai hanya dengan bersabar? Jika kasusunya dimulai
dari sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas adakah jaminan bahwa
si korban ini tidak akan merasa depresi? 6 tahun bukan waktu yang singkat.
Melapor pada pihak berwajib? Saya pikir untuk anak seusia
itu, mungkin memiliki banyak pertimbangan saat ingin membawa kasusnya pada
pihak berwajib. Tidakkah pembullyan ini akan semakin menjadi jadi jika mereka
(si pembully) ini diusik? Ya, mungkin sebesar itu ketakutan mereka. Lagi pun,
tanpa pendampingan orang dewasa, korban bully ini tidak bisa apa apa.
Namun, kembali lagi. Semua dimulai dari dirimu sendiri.
Miliki keberanian, saat kau mendapati dan merasakan dirimu akan menjadi korban
bully, miliki keberanian untuk melawan. Mungkin dengan begitu, si pembully tak
akan lagi melihatmu sebagai pihak lemah yang pasrah dibully. Sebaliknya,
mungkin saja keberanianmu bisa mengajarkan pada oranglain bahwa menjadi kuat
itu hebat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar