Sabtu, 16 Januari 2021

Resensi Buku 86, Okky Madasari

 


Judul : 86

Penulis : Okky Madasari

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit : 2011

Tentang Penulis :

Okky Madasari lahir di Magetan, Jawa Timur pada tanggal 30 Oktober 1984. Ia merupakan lulusan Universitas Gadjah Mada jurusan Hubungan Internasional. Ia bekerja sebagai wartawan dan mendalami dunia penulisan. Dari pekerjaannya di dunia jurnalistik inilah ia banyak mengetahui praktik praktik kecurangan hukum. Secuil dari pengetahuannya itu ia tuliskan pada novel karyanya yakni 86 yang banyak memberikan gambaran pada pembaca tentang bagaimana sistem sistem tak adil itu bekerja di Indonesia seolah telah menjadi kebiasaan. Pembaca akan menemukan wajah lain dari Indonesia (utamanya Ibukota karena mengambil latar belakang kota Jakarta) lewat buku ini.

Sinopsis :

Arimbi merupakan seorang juru tulis yang bekerja di kantor pengadilan negeri daerah Jakarta. Setelah 4 tahun bekerja dengan normal, kepolosan gadis itu mulai berubah setelah mendapatkan ucapan terimakasih berupa AC baru untuk kontrakannya dari seorang clien. sedikit keraguan dalam hati apakah yang ia lakukan ini hal yang benar? Ia tanyakan itu pada Anisa. Anisa bilang itu hal wajar, hampir semua orang di pengadilan menerimanya. Temannya itu bilang, dulu ia menerima kompor gas, namun kini ia hanya mau mentahnya saja karena semua ia sudah punya. Kini Arimbi tahu bagaimana rekan kerjanya itu begitu gampang membeli barang ini itu, berlibur kesana kemari padahal yang ia tahu gaji Anisa pun tak beda jauh dengannya. Jawabannya hanya satu, 86!. Sama sama tau, sama sama untung.

Kepiawaian Arimbi menjadi pemain kian didukung berkat hadirnya Ananta, pria yang mengisi hatinya, suaminya. Hidup dengan Ananta membuat Arimbi mulai tamak. Ia ingin membahagiakan Ananta dengan membelikan semua yang pria itu butuhkan selain tentunya juga ia kirimkan untuk orangtuanya di kampung. Dan dari sinilah malapetaka itu dimulai.

Ulasan :

Novel hebat ini memadukan banyak masalah masalah sosial yang terjadi di Indonesia dengan dibungkus apik dalam perjalanan hidup Arimbi. Penulis begitu andal membawakan topik tentang KKN (korupsi, kolusi, dan napotisme) yang prakteknya telah umum terjadi di Indonesia. Dari cerita Arimbi, kita akan dapati bagaimana dengan mudahnya para orang orang atas itu menerima uang sogokan. Begitu konyol ketika pengadaan sidang di pengadilan hanya sebagai formalitas karena yang sebenarnya keputusan sidang sudah diketahui oleh mereka mereka yang siap mengeluarkan banyak uang. Hukum adalah kepunyaan mereka yang berduit.

Pembahasan tentang nepotisme juga menjadi topik menarik disini. Ketika ia yang bekerja dapat masuk secara mudah dengan uang, maka tidak mengherankan jika dari dalam mereka pun bekerja dengan, untuk dan dari uang.

Dan yang cukup menyesakkan adalah tentang keberadaan penjara. Bukan, bukan sebagai tempat untuk menghukum mereka mereka yang bersalah. Sisi gelap kurungan bagi mereka yang dibilang banyak orang sebagai “penjahat”. Pada kasus Arimbi, penjara kiranya justru dijadikan ladang mencari uang, pabrik dan pusat pengedaran barang haram. Mereka yang memproduksi sabu dari dalam sel marasa lebih aman hanya dengan memberi sogokan untuk para penjaga. Mereka hanya perlu lebih berhati hati saat barang itu dikirimkan keluar.

Penjara wanita, hanya diisi oleh mereka mereka yang berjenis kelamin perempuan. Tentu pada diri setiap individu mempunyai kebutuhan biologis. Lalu bagaimana mereka memenuhi kebutuhannya jika dalam kurungan itu hanya ditinggali mereka mereka yang sejenis? Tentu praktek LGBT menjadi jawaban. Mereka yang merasa sama sama terpuaskan mungkin tak lagi memikirkan bahwa hal yang mereka lakukan adalah penyimpangan, hal yang dibenci masyarakat. Tapi siapa peduli? Yang penting kebutuhan mereka terpenuhi.

Hal menarik lain yang juga dibahas dalam novel ini adalah tentang pungutan liar (pungli) dan. pemutusan hubungan kerja (PHK). Ada begitu banyak hal yang dapat kita pelajari dari buku ini. Hal hal yang kiranya akan menyadarkan dan lebih mengenalkan kita wajah dari Negara tercinta ini, sisi kusam Indonesia.

Kelebihan :

Cover dengan gambar apik dan judul singkat yang menarik tentu membuat para pembaca penasaran.

Alur cerita yang runut dan realistis kiranya akan membuat imajinasi pembaca seolah dapat menyaksikan segalanya secara nyata.

Kalimat yang jelas tanpa berbelit juga memudahkan pembaca dalam memahami isi cerita.

Kekurangan :

Entah mengapa pada bagian awal buku ini tidak terlalu menarik, namun seiring habisnya lembar demi lembar akan membuat pembaca ketagihan.

Akhir yang cukup membuat pembaca gemas karena ketika pembaca masih diliputi perasaan penasaran akan bagaimana endingnya (tentu berharap Arimbi bahagia) tiba tiba saja penulis mengakhiri cerita dengan akhir yang “memang seharusnya seperti itu”.

 


Resensi Buku Gadis Pantai, Pramoedya Ananta Toer

 


Judul : Gadis Pantai

Penulis : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit : Hasta Mitra

Tahun Terbit : 2000

 

Tentang Penulis :

Novel hebat karya Pramoedya Ananta Toer bukan hanya Gadis Pantai. Beliau menulis banyak karya karya lain yang lahir dari kepiawaian beliau dalam mengekspresikan jiwa seninya, yaitu lewat sastra. Beliau merupakan penulis hebat dari Indonesia yang dulu, meski harus mendekam dalam pengasingan, tak pernah melewatkan waktu dan kesempatan yang ada untuk menuangkan segala buah pikiran beliau dalam bentuk tulisan. Meski karya karya beliau dibakar, beliau tak putus akal dan semangat untuk terus mengabadikan diri dengan menulis, menulis, dan menulis agar kelak pada semua generasi, tulisan tulisan itulah yang berbicara, bercerita.

Sinopsis :

Gadis Pantai, kini si gadis ayu itu harus berpisah dari Emak Bapaknya. Meninggalkan rumah, sanak saudara, para tetangga, meninggalkan Kampung Nelayannya, juga meninggalkan laut yang selama ini menghidupinya. Ia telah diambil istri oleh Bendoro, kini semua orang yang ada dirumah itu memanggilnya Mas Nganten, Orang kampung pun jadi memanggilnya Bendoro Putri. Bapak bilang ia beruntung karena berjodoh dengan orang yang pandai dan taat agama, juga yang sangat baik nasabnya. Namun si Gadis Pantai tak senang, ia tak sebebas dulu bermain pasir dengan para bocah seusianya, ia tak bisa lagi menumbuk udang kering disamping rumah untuk membantu Emak, tak dapat lagi membantu Bapak membawa hasil tangkapan ikan. Kini yang harus ia lakukan hanya satu hal, mengabdi pada bendoro. Harus ia lakukan semua yang bendoro perintahkan dan harus ia tinggalkan semua larangan yang tak disukai bendoro. Ia harus bikin berdoro senang dan makin menyayanginya. Temannya hanya simbok, bujang yang hidup sebatang kara, ditinggal mati oleh suami suaminya dan anak pun simbok tak punya. Hanya dongengan simbok yang jadi pengusir sepinya.

Gadis Pantai tak bahagia meski kini ia punya segala yang bagus bagus. Bahkan Bendoro membelikannya perhiasan dan mutiara. Bendoro menggaji guru ngaji untuknya, ia juga belajar cara membatik. Namun Gadis Pantai tak suka ia menjadi begitu berbeda dari pandang semua penduduk desa, semua orang memuliakannya, menganggap derajatnya lebih tinggi. Padahal si Gadis Pantai juga bagian dari mereka, juga anak kandung Pantai Nelayan. Inilah kisah awal kehidupan si Gadis Pantai,

Ulasan :

Gadis pantai sebenarnya juga mengajarkan pada pembaca bagaimana sistem patriarki bekerja pada zaman itu, juga mungkin dapat direlevansi pada masa kini. Novel ini seolah menjadi contoh nyata bagaimana dalam lingkup keluarga maupun lingkungan sosial yang luas laki laki ditempatkan sebagai pemegang kekuasaan utama dan pendominasian peran dari hampir semua bidang. Laki laki dapat memerintah, melakukan segala hal yang mereka suka. Sedang yang perempuan, harus tunduk dan ikut apa kata lakinya.

Contoh nyata dari sistem feodalisme juga tergambar dalam novel ini. bagaimana penggambaran kekuasaan begitu melekat pada diri bangsawan. Penekanan untuk menghormati mereka mereka yang berasal dari kalangan atas dan memiliki nasab baik setidaknya akan membuat kita merasa perbedaan strata itu begitu kolot dan menjengkelkan.

Tentu masih ada banyak hal lagi yang dapat dipelajari dari buku ini, seperti pada perbedaan pola hubungan laki laki dan perempuan yang sudah menikah antara mereka yang tinggal di kota dan mereka yang tinggal di desa. Perbedaan lingkungan sosial, pendidikan, dan interaksi antar individu kota dan desa juga dapat diamati dan dipelajari dalam buku ini.

Dalam buku ini juga menyinggung tentang pernikahan dini, bagaimana si gadis pantai dipaksa menikah meski saat itu usianya belum cukup bahkan belum mengalami menstruasi. Tak sampai disitu, penulis pun juga menjabarkan tentang bagaimana anggapan masyarakat strata atas bahwa pernikahan yang sebenarnya adalah ketika kedua mempelai sama atau setara, bagi para bendoro yang memiliki istri tidak sederajat dengannya atau dalam kasus si Gadis Pantai ini ia hanya seorang gadis kampung dan tidak berpendidikan, maka si bendoro masih dianggap perjaka.

Hal lain yang juga disinggung oleh penulis adalah tentang hak asuh anak, pada bagian akhir, pembaca akan ditunjukkan bagaimana pahitnya ketidakadilan yang menimpa si gadis pantai. Masalah hak asuh anak ini tentu ada keterkaitannya dan masih relevan dengan masa sekarang.

Kelebihan :

Saya kira dari beberapa buku karya Pramoedya Ananta Toer yang sudah say abaca, buku Gadis Pantai ini yang paling ringan pola kalimatnya sehingga mudah dipahami dan digambarkan dalam imajinasi.

Buku ini juga cocok dibaca oleh semua kalangan karena pembahasannya yang ringan dan tidak mengandung konten yang sensitif.

Kekurangan :

            Endingnya yang seperti menggantung (karena dua jilid seri setelahnya hilang) kiranya membuat pembaca kecewa tidak dapat mengetahui bagaimana kisah akhir kehidupan si Gadis Pantai

 


Rabu, 06 Januari 2021

Resensi Buku Rumah Kaca, Tetralogi Buru Jilid 4

 

Resensi Buku Rumah Kaca




Judul : Rumah Kaca

Penulis : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit : Lentera Dipantara

Tahun Terbit : 2011

 

Tentang Penulis :

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah pada tahun 1925. Beliau merupakan penulis hebat asal Indonesia yang buah karyanya tak perlu diragukan lagi. Beliau menulis banyak karya hebat salah satunya adalah Tetralogi Buru yang terdiri atas 4 buku yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan terakhir Rumah Kaca yang sedikit banyak memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang bagaimana sejarah dari bangsa Indonesia ini. Dan karena tulisan tulisannya yang hebat inilah bukan tidak mungkin beliau berhasil menyabet banyak penghargaan penghargaan hebat untuk karyanya.

Sinopsis :

Arus gelombang zaman yang kian tak terkontrol kiranya membuat Gubernur Jendral Indeburg gelisah. Apalagi sejak Revolusi Tiongkok terjadi, Gubernur Jendral dibuat pusing dengan semangat nasionalisme yang timbul di kawasan Asia. Dan hal itulah yang agaknya membuat Gubernur semakin ketar ketir dengan berdirinya organisasi pribumi yang dipimpin oleh  seoarang pribumi terpelajar, siapalagi jika bukan Raden Mas Minke yang dengan semangatnya memiliki cita cita untuk mempersatukan Hindia. Sepak terjang Minke dalam dunia kepenulisan cukup membuat Gubernur Jendral Idenburg gelisah, apalagi dengan tajuk tajuk dari surat kabar milik Minke yang memang digandrungi oleh hampir semua masyarakat itu sedikit demi sedikit mulai menyadarkan pada bangsa Hindia apa itu nasionalisme.

Barang tentu karena itulah, Gubernur Jendral mengutus Jacques Pangemanann, seorang komisaris polisi yang sebelumnya hanya bekerja dengan kertas dan pena kini harus turun tangan langsung terjun ke lapangan untuk memadamkan semangat gerakan kebangkitan nasionalisme pribumi. Koran dan majalah adalah hal vital dimana komunikasi antar pribumi terjalin lewat media cetak tersebut. Lewat bacaan para pribumi dapat mengeluhkan segala macam ketidakadilan yang terjadi untuk kemudian masalah masalah tersebut tidak lagi menjadi permasalahan pribadi melainkan persoalan umum. Hal inilah yang tentu meresahkan para Gubermen. Karena itu, diutuslah Jacques Pangemanann untuk meredakan kekhawatiran para Gubermen juga Gubernur Jendral. Dan tentu sasaran utama yang pertama adalah Minke, yang merupakan juru bicara bangsanya lewat surat kabar miliknya, “Medan”.

Novel ini juga merupakan babak akhir dari cerita kehidupan Minke. Bagaimana keadaan yang diceritakan oleh penulis tentang akhir hidup orang hebat seperti Raden Mas Minke cukup membuat pembaca ikut merasa miris. Segala hal yang dulu dipunya dan ada dalam genggamannya satu persatu hilang. Ia tak lagi punya apapun. Namun hal yang menjadi pembelajaran bersama adalah bagaimana rasa cinta Minke terhadap bangsanya begitu membuatnya royal melakukan dan mempertaruhkan apapun untuk memajukan bangsanya sendiri, bangsa yang ia banggakan dan ia cintai.

 

Ulasan :

Rumah Kaca merupakan bagian terakhir dari Tetralogi Pulau Buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer saat di penjara. Berbeda dari 3 jilid sebelumnya yang menempatkan Minke sebagai tokoh utamanya, pada buku kali ini penulis menggunakan sudut pandang dari seorang Komesaris polisi pribumi bernama Pangemanann. Hal inilah yang kemudian membuat buku ini menarik dimana pergolakan batin dari seorang Pangemanann yang harus memilih antara nuraninya yang begitu mengagumi sosok pribumi terpelajar yang hebat macam Minke atau logika yang mengharuskannya mengabdi sepenuh hati pada Gubernur Jendral yang telah menggajinya. Mencukupi kebutuhan keluarganya, istri dan empat orang anaknya yang bahkan dua diantaranya kini tengah mengenyam pendidikan diluar negeri. Masa depan menjanjikan ada didepan mata selama ia masih mampu membiayai kebutuhan pendidikan anaknya. Dan mau tidak mau, untuk tetap bisa mendapat gaji tersebut, ia harus mematuhi segala yang diperintahkan oleh Gubernur Jendral.

Buku ini sepatutrnya menjadi bahan bacaan untuk para generasi muda agar lebih mengenal seperti apa bangsanya juga supaya mereka lebih menghormati dan mau mencintai bangsa sendiri. Dari Minke para generasi seharusnya belajar bagaimana cara berjuang untuk memajukan bangsa ini meski itu dimulai dari hal yang sederhana, menulis.

Kelebihan :

Tentu seperti karya karyanya yang sebelumnya, Pak Pram menempatkan banyak pembelajaran yang dapat dipetik dari setiap kejadian yang dialami oleh tokoh tokohnya.

Detail kejadian yang tergambar secara rinci membuat pembacanya akan larut dan terbawa untuk ikut merasakan dan belajar bagaimana pahit manis hal hal yang terjadi dalam kehidupan para tokoh.

Selain itu, pemahaman penulis tentang dunia luar tertuang pada bagaimana penulis dapat menceritakan secara detail bagaimana perkembangan dari Negara Negara lain seperti salah satau contohnya adalah revolusi Tiongkok.

Kekurangan :

Mungkin pada beberapa kalimat yang memang susah dipahami maknanya karena terkendala diksi dan penyajian pola katanya.

 







Resensi Buku Jejak Langkah, Tetralogi Buru Jilid 3

 

Resensi Buku Jejak Langkah 



 

Judul : Jejak Langkah

Penulis : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit : Lentera Dipantara

Tahun Terbit : 2012

 

Tentang Penulis :

Jejak Langkah merupakan jilid ketiga dari “Tetralogi Buru” karya Pramoedya Ananta Toer. Beliau merupakan sastrawan berkebangsaan Indonesia yang telah melahirkan banyak karya yang hebat. Kecintaan beliau pada jurnalistik membuatnya tetap memperjuangkan tulisannya meski pada saat itu banyak ditentang oleh pemerintah. Beliau selalu mempunyai cara untuk tetap mengabadikan buah pikirannya agar kelak dapat diwariskan dan dipelajari generasi muda lewat sastra. Dan perjuangannya tak sia sia, meski raganya tak lagi berpijak pada bumi, namun karya karya beliau tersimpan dalam barisan aksara abadi.

Lewat karya karya beliau yang sudah menjajaki ranah internasional, membuktikan apada kita bahwa kehebatannya sebagai seorang penulis tak perlu diragukan lagi.

 

Sinopsis :

Setelah pada jilid jilid sebelumnya penulis menceritakan tentang kehidupan pribadi dari seorang Minke, Raden Mas pribumi anak Bupati B, dan juga masa masa muda dimana Minke sedang mencari jatidiri juga rentetan perjalanan kisahnya untuk dapat mengenal bangsanya sendiri, Pada novel Jejak Langkah ini penulis bercerita tentang bagaimana sepak terjang Minke dalam membela bangsanya. Bagaimana seorang Minke sebenarnya memiliki andil besar dalam memajukan tanah air kebanggaanya.

Buku ini berkisah tentang bagaimana perjalanan Minke untuk mendirikan majalah pribumi pertama “Medan” yang ia citakan bakal jadi sarananya untuk bercerita pada dunia tentang bagaimana ketidakadilan yang menimpa bangsa pribumi, bangsanya. Bahkan majalah dan korannya dapat dijadikan senjata oleh pribumi dalam menghadapi ketidakadilan yang dialami akibat kesewenang wenangan bangsa asing. Meski itu artinya Minke akan dapatkan banyak masalah, namun kiranya itu tak menjadi alasan Minke putus semangat. Meski banyak duri yang menghalangi, Minke tetap memperjuangkan yang terbaik untuk bangsa Hindia, bangsanya.

Pada novel ini juga akan diceritakan bagaimana romansa kisah cinta Minke terhadap gadis sipit berdarah Tionghoa. Bagaimana cara tuhan mempertemukan mereka, bagaimana keayuan serta kecerdasan gadis itu dapat membuat debar jantung Minke menggila dan berani membawanya menghadap bunda meski dengan keyakinan dan adat budaya yang berbeda. Juga bagaimana akhirnya mereka memutuskan untuk hidup bersama. Tak hanya satu, Minke nyatanya bertemu dengan banyak gadis yang turut mewarnai harinya. Anak sahabatnya yang dulu selalu ia gandeng dan gendong saat mereka berangkat sekolah bersama kini menjadi gadis muda dengan sifat manjanya yang mampu membuat Minke memiliki keberanian untuk melamar pada ayahnya, juga sahabatnya Mir yang sudah bersuami. Ada juga seorang gadis cantik, anak seorang raja muslim bernama Prinses.

Pada Jejak Langkah pembaca juga akan dikenalkan pada organisasi organisasi di masa kebangkitan, Syarikat Priyayi, Budi Utomo, juga Syarikat Dagang Islam. Menyelami bagaimana keadaan pada masa itu dan turut merasakan suka duka masa dulu. Juga pahit manisnya berorganisasi, menyatukan mereka mereka yang punya kepentingan dan tujuan yang sama.

Ulasan :

Buku ini sepatutnya menjadi bacaan yang wajib dipelajari para generasi muda. Ada banyak hal yang akan mereka temukan dan dapat menjadi pembelajaran tentang bagaimana perjuangan seorang jurnalis untuk mendirikan Koran hariannya. Akan pembaca temukan betapa banyak hal dimasa lalu yang luput dari catatan buku sejarah anak anak Indonesia.

Pembaca juga akan sedikit banyak mengetahui bagaimana sebuah organisasi macam Syarikat Priyayi, Budi Utomo, dan Syarikat Dagang Islam berdiri. Berapa banyak waktu, harta dan tenaga yang mereka curahkan untuk dapat mengabdi demi memajukan negeri ini. Hal hal seperti inilah yang kemudian seharusnya dapat menimbulkan jiwa nasionalisme, semangat juang untuk membuat negeri tercinta ini semakin maju, juga menjadi pribadi yang lebih menghargai sejarah.

Keunggulan :

Tentu pembelajaran yang dapat diambil dari buku ini sangat banyak. Terutama dari segi sejarah. Karena teruarai dalam catatan berbentuk novel bergenre roman, kesan nyaman membuat buku ini terasa ringan dan tidak memberatkan pikiran pembaca.

Kelemahan :

Penggunaan kalimat dengan bahasa yang susah dimengerti terkadang membuat pembaca harus membaca ulang beberapa kali. Beberapa kalimat juga sulit dipahami maknanya.

Dua halaman rusak dan tulisannya tidak terbaca.

Burung Simbah

Selepas sembahyang magrib, ibuk bapak selalu menyempatkan diri untuk mengobrol. Kadang di teras, di ruang tamu atau ketika duduk lesehan di ...